Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 Mei 2015

ANALISIS EKONOMI: Mitigasi Siklus Ekonomi (A PRASETYANTOKO)

Kisah ini selalu diulang guna membeberkan kaitan antara perilaku pasar dan dinamika politik. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia melejit 3,84 persen segera setelah pengumuman Joko Widodo sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Maret 2014. Sementara nilai tukar menguat hingga kisaran Rp 11.300. Pasar begitu bergairah terhadap dinamika politik.

Kini, situasinya persis sebaliknya. Minggu lalu, IHSG meluncur selama empat hari berurutan sehingga terkoreksi lebih dari 6 persen. Sementara nilai tukar berada pada nilai fundamental baru, Rp 13.000-an, atau terdepresiasi sekitar 10 persen dibandingkan dengan posisi tahun lalu. Pasar terlihat tak lagi antusias dengan prospek perekonomian, termasuk terhadap kemampuan pemerintah mengatasi persoalan.

Perkembangan perekonomian global memang tak menggembirakan. Berakhirnya booming komoditas kian terasa dampaknya saat harga minyak dunia menyentuh nilai terendah. Jika dulu ada angin dari belakang (tailwinds) kinerja perekonomian domestik, kini justru menghambat dari depan(headwinds). Perekonomian global tengah mencari situasi normal baru yang pada dasarnya lebih buruk daripada sebelumnya atau memasuki fase new mediocre.

Namun, tak semua efek pelambatan dari sisi eksternal. Banyak kebijakan domestik yang tak memadai sehingga mendorong proyeksi negatif. Pertumbuhan kredit pada triwulan I hanya 12 persen dari target sepanjang tahun 15-17 persen. Sementara sektor riil kurang bergairah dari susutnya penjualan dan laba korporasi besar.

PT Astra International Tbk (ASII) mengalami penurunan penjualan 9,3 persen. Penjualan perusahaan ritel dan konsumsi, seperti PT Unilever (UNVR) dan PT ACE Hardware Indonesia (ACES), juga turun. Jika selama ini bisa tumbuh di atas 10 persen, kini hanya single digit.

Situasi ini membuat banyak pihak, termasuk pemerintah, ragu pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015 bisa mencapai 5 persen. Dengan begitu, target pertumbuhan tahunan 5,7 persen kian sulit dicapai. Itulah faktor pendorong utama merosotnya IHSG di bursa akhir-akhir ini.

Buramnya prospek perekonomian triwulan I masih ditambah kegaduhan politik terkait penangkapan Novel Baswedan. Wibawa Presiden diuji dengan memanasnya Polri-KPK karena di balik itu ada relasi tak serasi antara Presiden dan partai pengusung. Pasar melihat, pemerintah tak cukup solid mengatasi persoalan perekonomian.

Tingkat kepuasan publik terhadap Presiden-Wakil Presiden pun merosot. Menurut Poltracking Institute, tingkat kepuasan atas Kabinet Kerja hanya 44 persen. Sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan hasil jajak pendapat mengenai 100 hari kinerja Presiden Joko Widodo yang cenderung memburuk. Hanya 6,6 persen yang masih sangat puas, sedangkan 55 persen publik cukup puas, 22,9 persen kurang puas, dan 2,9 persen tidak puas sama sekali.

Dinamika perekonomian begitu dipengaruhi situasi politik. Teori siklus bisnis menaruh perhatian besar pada fase pasang dan surut perekonomian, tetapi tak satu kata soal cara mitigasinya. Pendekatan klasik meyakini pasar punya mekanisme penyesuaian diri yang baik sehingga tak perlu intervensi. Sementara pendekatan Keynesian memahami peran pemerintah begitu penting menstabilkan siklus ekonomi. Dalam konteks perekonomian kita, di mana dinamika ekonomi rentan pada kondisi politik, peran kebijakan pemerintah menjadi begitu sentral.

Perlu ada paket kebijakan menyeluruh di bidang moneter, fiskal, dan industrial yang secara konsisten dijalankan sebagai penyangga penurunan siklus perekonomian.

Kebijakan pemerintah harus dijalankan secara komprehensif agar mampu menjadi counter-cycle. Dan, jangan pula biarkan kegaduhan politik justru mendorong penurunan siklus lebih jauh (pro-cycle). Kalaupun paket kebijakan sudah pernah dirancang, tetap saja ada berbagai potensi kontradiksi kebijakan.

Pertama, pemerintah menargetkan pembangunan infrastruktur dipercepat dalam rangka meningkatkan belanja pemerintah guna mendorong perekonomian. Namun, dalam rangka menjamin anggaran pemerintah, target penerimaan pajak dinaikkan menjadi sekitar Rp 1.200 triliun. Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak. Dalam situasi siklus ekonomi menurun, penarikan pajak berlebihan justru bersifat kontra produktif.

Kedua, melihat pelambatan ini, Bank Indonesia berencana melonggarkan aturan loan to value (LTV) sektor properti. Namun, ada wacana di tempat lain untuk mengenakan pajak pada apartemen. Kedua kebijakan bisa kontradiktif satu sama lain di lapangan jika tak ada koordinasi yang baik.

Melihat peliknya situasi, koordinasi di antara pemangku kebijakan harus lebih intensif. Sinkronisasi kebijakan industrial terutama diarahkan guna mengalihkan lanskap industri dari basis komoditas menjadi industri bernilai tambah tinggi. Di sini diperlukan sinkronisasi yang lebih kompleks karena melibatkan dimensi yang sangat luas, mulai dari peraturan di daerah, ketersediaan infrastruktur, hingga kebijakan perburuhan.

A PRASETYANTOKO, PENGAJAR FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2015, di halaman 15 dengan judul "Mitigasi Siklus Ekonomi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger