Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 Mei 2015

Audit Kinerja Penegakan Hukum (REZA SYAWAWI)

Riuhnya penegakan hukum belakangan ini begitu menguras perasaan publik.

Pelantikan Kepala Polri defenitif yang diharapkan mampu meredam gejolak di seputar lembaga penegakan hukum justru diikuti dengan pemilihan Wakil Kepala Polri yang masih memiliki masalah hukum. Terakhir, kepada publik kembali dipertontonkan "aksi koboi" penyidik Polri: menangkap paksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

Dengan menggunakan kuasa diskresi, penangkapan di tengah malam itu dianggap Polri  hanya sebagai proses hukum biasa. Faktanya justru terbalik, penangkapan dan langkah-langkah Polri lebih terlihat mubazir. Tak ada yang bisa dihasilkan dari seluruh kejadian tersebut selain kian mengukuhkan bahwa Polri sedang menjadikan hukum sebagai ajang "permainan".

Ketakjelasan informasi seputar penangkapan, pemeriksaan, hingga "pemaksaan" rekonstruksi terakumulasi sebagai skenario yang disebut kalangan masyarakat sipil sebagai kebohongan. Atau, di balik itu semua memang tersirat pesan bahwa siapa pun bisa menjadi target kriminalisasi jika berhadapan dengan Polri.

Audit kinerja

Perintah presiden agar pengusutan kasus hukum transparan sebetulnya cukup menjadi alat agar penegakan hukum dapat dipertanggungjawabkan. Namun, perintah tersebut juga tak konkret, terutama mengenai bagaimana konsep transparansi itu diterapkan. Apakah transparansi itu cukup dengan konferensi pers, atau misalnya, dengan gelar perkara agar semua pihak dapat melihat bahwa kasus itu murni hasil penyelidikan dan penyidikan.

Sayang, Polri tak mengarah ke sana. Janji gelar perkara terhadap kasus Budi Gunawan saja tak kunjung dipenuhi, apalagi kasus yang dituduhkan kepada Novel, serta kasus lain yang dituding kriminalisasi.

Melihat semua situasi ini, sudah saatnya penegak hukum, terutama Polri dan kejaksaan, menjadi obyek pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan ini sangat relevan mengingat Polri dan kejaksaan juga dibiayai keuangan negara, dibiayai masyarakat. Pemeriksaan kinerja atau audit kinerja sebetulnya bukanlah instrumen baru dalam pertanggungjawaban keuangan negara. Hanya saja, dalam praktiknya keterbatasan auditor negara (BPK) yang menjadi kendala mengapa audit kinerja belum dilakukan menyeluruh. Sistem keuangan negara yang memegang prinsip "anggaran berbasis kinerja" mengharuskan setiap pengeluaran harus bisa dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, tak serupiah pun luput dari pemeriksaan keuangan, termasuk dari aspek kinerja.

Pemeriksaan ini menjadi solusi alternatif untuk mengawasi serta menilai akuntabilitas institusi negara sebab pengawasan terhadap penegakan hukum tak bisa ditumpangkan hanya melalui proses hukum itu sendiri. Walaupun banyak ruang tersedia menguji validitas proses hukum, baik melalui praperadilan maupun proses hukum lainnya, itu tak cukup menjamin proses hukum.

Pengawasan di dalam penegak hukum juga dianggap tak mumpuni mengoreksi tindakan aparaturnya. Dalam situasi tertentu, pengawasan internal juga bagian dari bobroknya institusi penegak hukum. Dalam kasus konkret dapat dilihat bagaimana lambannya penyelesaian pengaduan masyarakat kepada profesi dan pengamanan Polri terkait penangkapan BW. Mungkin ini imbas esprit de corps-nya yang terlalu tinggi sehingga menciptakan imunitas atas individu tertentu yang memiliki pengaruh.

Di samping pengawasan internal, pengawas eksternal juga mengalami sindrom esprit de corps. Dalam konteks Polri, misalnya, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tak terlihat menempatkan diri sebagai pengawas eksternal Polri. Ini terlihat dalam beberapa pernyataan terbuka anggota Kompolnas yang justru cenderung seperti pembela Polri.

Dengan semua problem itu, sistem pengawasan terhadap institusi penegak hukum melalui audit kinerja sangat penting segera dilakukan. KPK sebagai bagian lembaga penegak hukum telah terlebih dulu melakukan pemeriksaan kinerja. Dengan kewenangan yang begitu besar, KPK menyadari betul bahwa pengawasan konvensional yang tersedia tak cukup sehingga pemeriksaan kinerja oleh BPK menjadi salah satu penopang menjamin akuntabilitas kelembagaan.

Kita berada dalam situasi penegakan hukum tak kondusif. Harus ada upaya semua pihak agar situasi ini tak dibiarkan kian merusak kredibilitas penegakan hukum. Salah satu jalan: segera audit kinerja seluruh institusi penegak hukum.

REZA SYAWAWI

Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul " Audit Kinerja Penegakan Hukum".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger