Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 19 Mei 2015

RI Pun Ubah Kebijakan

Menteri luar negeri Indonesia, Malaysia, dan Thailand, Senin (18/5), bertemu di Kinabalu, Malaysia, untuk membahas soal manusia perahu.

Akhir-akhir ini, ketiga negara anggota ASEAN itu terkena imbas mengungsinya warga Rohingya dan Banglades dari negara masing-masing. Diperkirakan sekitar 3.000 imigran Rohingya telah diselamatkan setelah terdampar di pantai Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Pemerintah Banglades mengatakan, para pengungsi itu adalah korban perdagangan manusia, dan bersedia memulangkan mereka kembali ke negaranya. Berbeda dengan Banglades, Pemerintah Myanmar justru tidak mau bekerja sama. Myanmar menganggap Rohingya adalah imigran gelap dari Banglades, bukan warga negara Myanmar. Itu sebabnya, Myanmar menolak bertanggung jawab.

Bukan itu saja, Pemerintah Myanmar pun menolak undangan Pemerintah Thailand untuk hadir dalam pertemuan puncak tingkat regional guna membahas masalah itu, 29 Mei mendatang.

Sikap lepas tangan Pemerintah Myanmar itu sulit diterima oleh Indonesia. Begitu juga Malaysia dan Thailand. Bagaimana mungkin mengharapkan Indonesia, Malaysia, dan Thailand menampung pengungsi Rohingya yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab Myanmar.

Itu sebabnya, Indonesia pun mengubah kebijakan soal pengungsi perahu, sama seperti kebijakan yang diambil Malaysia dan Thailand. Dalam artian, jika kapal yang digunakan masih baik, mereka sekadar diberi makanan dan air minum, kecuali jika mereka terdampar. Sebelum ini, Indonesia masih bersedia menampung pengungsi perahu untuk sementara waktu.

Kebijakan ibarat permainan pingpong di laut itu dikecam keras oleh lembaga kemanusiaan internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Oleh karena kebijakan itu berpotensi menghilangkan banyak nyawa manusia.

Namun, dari kacamata Indonesia, kebijakan itu terpaksa diambil untuk menanggapi sikap Myanmar yang seolah lepas tanggung jawab terhadap warganya. Kepergian pengungsi Rohingya dengan perahu itu disikapi Myanmar seperti kesempatan untuk "bersih-bersih rumah", mengingat kehadiran etnis minoritas Rohingya di Myanmar dianggap "bagai duri dalam daging". Etnis Rohingya berasal dari wilayah Bengal (kini Banglades) dan memasuki wilayah Myanmar di masa pemerintahan kolonial Inggris tahun 1800-an. Pemerintahan Myanmar (dulu Burma) tidak pernah menganggap etnis minoritas Rohingya sebagai warganya.

Kita menyambut baik pertemuan ketiga menteri luar negeri ASEAN di Kinabalu. Namun, kita berharap Indonesia, bersama Malaysia dan Thailand, benar-benar berhati-hati sebelum mengambil sikap bersama. Perlu diingat, yang dipertaruhkan di sini adalah nyawa manusia, dan bukan sekadar soal salah atau benar. Pada saat yang sama, Myanmar pun perlu diingatkan untuk tidak mengabaikan tanggung jawabnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "RI Pun Ubah Kebijakan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger