Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 Mei 2015

TAJUK RENCANA: Keprihatinan atas Imigran Gelap (Kompas)

Ratusan imigran gelap yang terdampar di Aceh akhir pekan lalu menggambarkan lagi betapa isu pengungsi sebagai persoalan kemanusiaan tidak juga surut.

Kasus terdamparnya 582 imigran gelap Myanmar dan Banglades di Aceh itu hanya menambah dramatis atas gelombang pengungsi, yang kembali merebak belakangan ini di kawasan Eropa dan Asia. Kisah terdamparnya 582 imigran, yang terdiri dari 433 pria dewasa, 98 perempuan, dan 51 anak-anak, menimbulkan bayangan buruk tentang nasib sesama pengungsi lainnya.

Pergulatan para pengungsi menggapai negeri yang lebih aman sering menimbulkan tragedi. Banyak imigran dengan selamat mencapai tanah harapan, tetapi tidak sedikit yang terdampar bahkan tenggelam ketika mengarungi laut ganas. Sebagian imigran gelap meninggalkan negerinya karena rayuan manis mafia penyeludup manusia. Namun, sebagian lagi meninggalkan negerinya meski tahu bahaya yang dihadapi selama perjalanan.

Putusan untuk pergi, tidak hanya karena tertarik oleh kemungkinan mendapatkan kehidupan lebih baik di negeri seberang, tetapi juga karena tidak bisa menahan lagi kepedihan atas krisis dalam negeri. Imigran gelap di Asia dan Eropa umumnya berasal dari negara-negara yang dilanda kekacauan ekonomi, politik, dan sosial. Krisis politik di Myanmar dan Banglades memaksa sebagian warganya pergi dengan menggunakan perahu, yang secara luas dikenal sebagai manusia perahu, boat people.

Kiranya masih diingat, gejala manusia perahu pernah merebak luas di Asia Pasifik tahun 1970-an sampai awal 1990-an karena terjadi perang di negara-negara Indochina (Vietnam, Laos, dan Kamboja). Ribuan pengungsi Indochina meninggal karena perahu tenggelam atau kehabisan makanan dan minuman di tengah samudra luas.

Jika pengungsi Indochina dikenal sebagai manusia perahu, boat people, pengungsi Afganistan tahun 1980-an dikenal sebagai manusia gunung, mountain people, karena harus melintasi punggung pegunungan ke Pakistan dan Iran sebagai dampak pendudukan Uni Soviet. Jelas sekali, gelombang pengungsi Indochina, Afganistan, atau Myanmar dan Banglades terjadi karena persoalan dalam negeri yang penuh kekacauan. Begitu juga dengan persoalan pengungsi yang berasal dari Libya, Suriah, Somalia, Etiopia, dan beberapa negara Afrika lainnya.

Pemecahan atas gelombang pengungsi tidak bisa lain harus dilakukan dengan menciptakan stabilitas keamanan dan kemajuan ekonomi dalam negeri. Perlu dikemukakan, banyak negara gagal menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bangsa dan negaranya. Atas dasar itu, bantuan dunia internasional sangat diperlukan untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas di negara-negara yang sedang bergejolak. Tidak kalah pentingnya memperhatikan nasib para pengungsi sebagai persoalan kemanusiaan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Keprihatinan atas Imigran Gelap".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger