Orang-orang pemilik daratan yang hidup semenjana tak sudi menolong. Mereka bahkan tak ingin kapal yang tengah terayun-ayun tak berdaya di samudra berlabuh di pantai tempat mereka membangun peradaban.
Amat pelik membayangkan, di tengah gemuruh ombak yang menggulung ribuan anak-anak berteriak sekencang-kencangnya tanpa ada yang bisa mendengar. Nasib orang berusia lanjut tak kalah mengerikan. Kapal perahu kayu reyot yang mengangkut mereka pelan-pelan mulai retak. Ada yang mencoba peruntukan nasib, loncat dari kapal, tetapi dengan mudah ditebak, mereka ditelan ombak yang ganas.
Itulah yang terjadi pada ribuan orang Rohingya, Myanmar, yang lari dari negerinya sendiri dan hendak mencari penghidupan di tempat lain di muka bumi. Dalam tekanan rezim dan kelompok tertentu di negaranya, mereka yang minoritas memilih jalan pintas: bersama mengarungi lautan mencari tempat penghidupan yang lebih layak di negeri antah-berantah, ke mana kapal membawa. Namun, di Laut Andaman mereka bersua dengan kenyataan itu. Di perairan antara Thailand dan Malaysia, tak jauh pula dari Indonesia itu, sebagian kapal mereka mogok, sebagian masih berlayar, tetapi ditolak sana-sini.
Tiga negeri beradab itu tak sudi warga Rohingya menjadi beban baru. Tiga negara yang dikenal dengan keagungan budaya, keluhuran budi, dan keramah-tamahan negeri timur kini mempertontonkan tabiat khas negeri dari zaman penaklukan yang bisa berteriak tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan hukum pada saat di pekarangannya sendiri manusia lain tengah mempertaruhkan nyawa.
Berdasarkan data PBB seperti dikutip harian
Kelompok Rohingya adalah kelompok yang secara kuantitas memang sangat minoritas di Myanmar. Mereka minoritas ganda: agama dan etnisitas. Tragisnya, negeri yang kurang toleran terhadap pluralitas tersebut dipimpin oleh pemerintahan penekan yang amat tertutup. Pada saat sistem pemerintahan yang represif tersebut mulai terbuka dan membuka diri, ia diperhadapkan dengan tekanan kelompok mayoritas, yang memang tidak ingin bersahabat dengan kelompok Rohingya.
Semula kita menaruh harapan di atas pundak Aung San Suu Kyi, tokoh oposisi prodemokrasi dan penerima Nobel Perdamaian. Namun, sang tokoh sudah jadi politisi yang ingin memperoleh kekuasaan. Argo hitung-hitungan dukungan pun mulai berjalan. Suu Kyi secara kalkulasi rasio politik tidak akan menyuarakan pembelaan terhadap Rohingya karena ia membutuhkan suara mayoritas untuk mendukungnya. Maka, lengkap sudahlah derita anak-anak manusia yang bernama kelompok Rohingya.
Limpahan pengungsi terpaksa kelompok Rohingya pada umumnya hingga kini masih berkisar di kawasan ASEAN. Maka, peran asosiasi ini sangat vital untuk berdiskusi secara persuasif dengan Pemerintah Myanmar. Akar masalah ada di Myanmar, hulu soal ada di sana. Dialog persuasi ini penting mengingat Pemerintahan Myanmar yang memasuki babak pencerahan baru tersebut masih sangat sensitif dengan isu campur tangan pihak asing. Namun, jika ASEAN secara kolektif bisa duduk berdialog secara persuasif dengan Pemerintah Myanmar mengenai kelompok Rohingya ini, harapan untuk menyelesaikannya bisa terjadi. Negara-negara ASEAN yang kena dampak dari arus pengungsi Rohingya ini seyogianya tidak berjalan sendiri mencari solusi dengan Pemerintah Myanmar.
Menyenangkan militer
Pendekatan ASEAN terhadap Myanmar selama ini cukup menyenangkan rezim militer di sana sebab ASEAN melakukannya dengan cara persuasif, bukan dengan cara represif. Yangoon masih selalu memersepsikan ASEAN sebagai rumah dan milik sendiri. Apalagi, ASEAN telah memiliki piagam dan mekanisme tersendiri untuk isu-isu hak-hak asasi manusia (HAM). Myanmar jauh lebih mendengar ASEAN dibandingkan dengan negara-negara Barat, yang selalu mendesakkan keinginan mengenai demokrasi dan HAM. Bagi Myanmar, ASEAN selalu memercayai prinsip ASEAN,
Peliknya persoalan Rohingya tidak semata-mata lantaran status minoritas ganda yang melekat pada diri mereka. Namun, juga soal status kewarganegaraan mereka. Masih banyak di antara mereka yang belum dan sulit diwarganegarakan hanya lantaran mereka berstatus minoritas ganda. Pihak Pemerintah Myanmar masih menganggap mereka sebagai entitas asing kendati mereka berada dalam wilayah Myanmar sudah ratusan tahun. Ironinya, di tanah leluhur mereka, Bengal, mereka tertolak karena dianggap sebagai warga Myanmar.
Indonesia pernah punya hal yang sama. Kelompok ras Tionghoa yang bermukin di Singkawang (Pontianak) dan Tangerang yang disebut Cibeng (Cina Benteng) sudah berada di sana sejak abad sekian. Namun, hingga 2006, mereka tetap bukan warga negara Indonesia hanya lantaran mereka menyandang status keturunan Tionghoa. Akibatnya, mereka hidup jauh di bawah garis kemiskinan sebab segala pintu untuk melakukan mobilitas vertikal tertutup rapat.
Namun, semua itu kita akhiri dengan Undang-Undang Kewarganegaraan baru yang dibuat pada 2006. Di situ dipertegas bahwa siapa pun yang lahir di wilayah Indonesia, termasuk yang tidak memiliki seorang pun anggota keluarga, tetap diakui sebagai warga negara Indonesia. Hasilnya, tuding-menuding, fitnah- memfitnah, curiga-mencurigai berdasarkan garis etnisitas perlahan-lahan tetapi meyakinkan mulai kita hapus. Garis demarkasi antara "kami" dan "mereka" bisa kita hapus.
Saya pikir Indonesia melalui ASEAN bisa menawarkan formulasi ini kepada Myanmar. Presiden Amerika Serikat Richard Nixon mengatakan, "...
HAMID AWALUDIN
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN, MAKASSAR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Ujian Kemanusiaan di Laut Andaman".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar