Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 15 Juni 2015

ANALISIS EKONOMI: Melawan Paradoks Likuiditas (A PRASETYANTOKO)

Minggu lalu, perekonomian domestik (kembali) diuji. Nilai tukar melemah dan ditutup pada Rp 13.336 per dollar Amerika Serikat atau terdepresiasi sekitar 7 persen terhadap posisi di awal tahun. Adapun Indeks Harga Saham Gabungan berada pada level 4.935 atau melemah 5,6 persen dibandingkan dengan posisi pada awal tahun. Investor asing melakukan penjualan bersih senilai lebih dari Rp 7 triliun sejak awak Juni.

Singkatnya, telah terjadi "pelarian modal" yang berpotensi memicu efek multiplikasi negatif pada perekonomian domestik. Pertama, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun menjadi 8,69 persen atau naik sekitar 52 basis poin dibandingkan dengan awal bulan, serta 89 basis poin jika dibandingkan dengan awal tahun. Jika pelarian modal terus berlanjut, beban biaya penerbitan obligasi pemerintah akan terus meningkat. Kedua, beban impor juga naik sehingga defisit neraca transaksi berjalan berpotensi melebar.

Seperti biasanya, likuiditas yang semakin ketat justru terjadi ketika pelambatan ekonomi tengah terjadi. Kondisi itu adalah pola siklus ekonomi tipikal pro-cycle. Maka, diperlukan langkah konkret guna melawan pemburukan situasi (counter-cycle). Kalaupun sebagian (besar) gejolak di pasar finansial lebih diakibatkan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang diperkirakan sekitar September, tetap saja langkah mitigasinya harus dilakukan di dalam negeri secara cepat. Jadi, argumen tentang sumber gejolak dari luar perekonomian domestik tak lagi mendesak dijadikan alibi.

Pertama, perlu segera dirancang langkah mitigasi terhadap potensi kenaikan inflasi, khususnya menghadapi dua bulan ke depan saat bulan Ramadhan dan Lebaran. Bulan lalu, inflasi bulanan sebesar 0,5 persen, sedangkan inflasi tahunan sebesar 7,15 persen. Angka ini cukup merisaukan karena inflasi bulanan Mei lalu tercatat tertinggi sejak 6 tahun terakhir. Kondisi ini masih ditambah dengan pelemahan rupiah yang terus berlanjut sehingga inflasi bisa jadi ancaman serius karena impor kebutuhan pokok akan meningkat.

Kedua, mitigasi terhadap potensi kenaikan impor akibat percepatan realisasi belanja, terutama pembangunan infrastruktur. Semakin ekspansif belanja modal pemerintah, semakin besar potensi defisit neraca transaksi berjalan kita. Sebab, banyak komponen bahan baku masih diimpor.

Dalam jangka pendek, upaya menenangkan pasar tetap harus dilakukan, misalnya dengan memantapkan protokol krisis, merealisasikan pendanaan untuk stabilisasi pasar (bond stabilization fund), serta realisasi perangkat lain yang sifatnya merespons peringatan dini. Sementara dalam jangka menengah, relaksasi pajak barang mewah harus diperhitungkan dampaknya pada pencapaian target penerimaan pajak yang begitu tinggi.

Prinsipnya, dengan pertumbuhan yang semakin melemah, semakin mustahil target penerimaan pajak tercapai. Dengan demikian, alokasi belanja yang paling mungkin dipangkas adalah belanja modal. Jadi, ekspektasi belanja infrastruktur sebesar Rp 290 triliun mungkin saja tidak akan menjadi kenyataan. Lagi-lagi, situasi pro-cycleterjadi.

Soal siklus ekonomi yang didorong dinamika sektor keuangan, Claudio Borio dari Bank for International Settlements (BIS) pernah mengingatkan, dinamika makroekonomi tanpa siklus keuangan bagaikan Hamlet tanpa Prince atau drama tanpa pemeran utama. Artinya, krisis keuangan sudah menjadi "pemeran utama" dalam cerita makroekonomi hari ini.

Soal melimpahnya likuiditas di negara berkembang akibat suntikan likuiditas di negara maju, sudah diingatkan banyak ekonom sebagai fenomena paradoks likuiditas. Situasi ini adalah situasi dengan likuiditas tersedia melimpah, tetapi fungsi intermediasi tak berjalan dengan baik.

Kita selalu punya cerita sama, ketika likuiditas melimpah di pasar domestik, justru tak melakukan apa-apa. Kita baru bereaksi saat terjadi gejolak akibat pelarian modal keluar.

Dalam konteks global, paradoks likuiditas ditandai dengan kembalinya likuiditas ke negara maju saat ketidakpastian meningkat. Akibatnya, saat pasokan likuiditas global terus bertambah, negara berkembang justru kekurangan likuiditas. Peraih Nobel bidang ekonomi, Nouriel Roubini, baru-baru ini juga mengingatkan, gabungan antara tambahan likuiditas yang terus meningkat dan pasar keuangan yang makin tak likuid adalah sebuah bom waktu.

Salah satu kunci pokok bagi negara berkembang untuk melawan paradoks likuiditas adalah mempercepat belanja pemerintah yang mendorong intermediasi. Fokusnya pada peningkatan daya saing ekonomi, bukan sekadar daya tahan terhadap gejolak krisis.

Selain itu, orientasinya juga harus jangka panjang, bukan jangka pendek. Dilema antara stabilitas dan intermediasi (pertumbuhan) hanya bisa diselesaikan dengan mempercepat ekspansi tanpa mengorbankan stabilisasi. Untuk mencapai hal itu, diperlukan kemahiran menavigasi dinamika ekonomi yang makin tinggi hari-hari ini.

A PRASETYANTOKO DOSEN DI UNIKA INDONESIA ATMA JAYA, JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2015, di halaman 15 dengan judul "Melawan Paradoks Likuiditas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger