Harga Nokia Communicator di Finlandia Rp 18 juta, sementara di Indonesia Rp 12 juta. Walaupun Finlandia adalah negeri produsennya, harga produk belum tentu lebih murah. Mengapa?
Jawabannya adalah "ideologi ekonomi". Dengan harga lebih tinggi, Finlandia ingin mempertahankan kesejahteraan buruh. Studi saya pada 2004 atas 70 negara memang menunjukkan kesejahteraan pekerja di negara-negara Skandinavia (termasuk Finlandia) dan Jepang, tertinggi di dunia. Kendati demikian, elite pengusaha Finlandia justru memakai telepon genggam murah dan naik kendaraan umum.
Gaya hidup sederhana kaum elite di negara dengan produk domestik bruto (PDB) tertinggi di dunia ini terkait dengan ideologi sosialisme-demokrasi Skandinavia. Porsi pendapatan 40 persen penduduk terbawah melebihi 22 persen PDB. Sementara di negara-negara berhaluan liberal, seperti Amerika Serikat, kurang dari 17 persen. Ini kontras dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Umumnya, porsi pendapatan 40 persen penduduk terbawah kurang dari 17 persen PDB yang berarti dalam tingkat ketimpangan buruk.
Fakta ini memperlihatkan bahwa ideologi pembangunan negara berkorelasi dengan pencapaian keadilan sosial penduduknya. Finlandia dan negara-negara Skandinavia dengan tingkat pemerataan terbaik di dunia, misalnya, secara ideologis berhaluan sosialisme-demokrat.
Ciri pemerataan paling khas negara-negara itu, antara lain, sistem jaminan sosial yang menyeluruh. Negara mengontrol kaum pemodal dari usaha menguasai pasar dan mengendalikan negara. Fenomena terakhir ini justru tak terjadi di negara berkembang.
Ciri selanjutnya adalah tingkat kepemerintahan yang tinggi. Otoritas publik Finlandia berkinerja bersih dengan indeks korupsi hampir 100. Juga gerakan koperasi yang secara aktif dianggotai 70 persen penduduk. Ini diimbangi serikat buruh yang kuat, dengan posisi tawar yang tinggi sehingga buruh negara ini paling sejahtera di dunia. Negara juga menerapkan sistem pajak progresif untuk penduduk berpendapatan tinggi, yang memungkinkan redistribusi kekayaan lewat Sistem Jaminan Sosial.
Kondisi Indonesia
Ideologi ekonomi Indonesia tertuang dalam pasal-pasal UUD 1945, terutama Pasal 27, 33, dan 34. Jika dirangkai, bunyinya, "Sistem ekonomi Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan". Cabang-cabang produksi penting dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak dikuasai negara, termasuk kekayaan alamnya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan ada sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Artinya, secara normatif bangsa ini punya modal konstitusi untuk menyejahterakan dan mencapai keadilan sosial seperti termaktub dalam Konstitusi-UUD 1945 itu. Akan tetapi, setelah 70 tahun merdeka, problem paling mendasar di negeri ini justru pencapaian keadilan sosial tersebut.
"Ekonomi konstitusi" ternyata tidak diterjemahkan dengan tegas ke dalam sebuah "model pembangunan", undang-undang (UU), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan visi Presiden. Bahkan, selama masa reformasi terdapat 112 UU yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
Yang mencolok adalah UU Bank Indonesia (BI) dan UU Perbankan. Keduanya absen dari klausul pertimbangan yang mencantumkan Pasal 27 UUD 1945. Akibatnya, tak ada keharusan bagi BI dan perbankan nasional mendorong penciptaan kesempatan kerja, termasuk absennya prinsip inklusi finansial yang memungkinkan kalangan usaha kecil dan menengah (UKM) mengakses perbankan nasional.
Tak kurang pentingnya adalah UU Lalu Lintas Devisa-kini tengah menghadapijudicial review di Mahkamah Konstitusi yang diajukan Muhammadiyah. UU ini membebaskan devisa hasil ekspor disimpan di luar negeri. Akibatnya, ada dana sekitar 150 miliar dollar AS yang tidak bisa digunakan memperkuat likuiditas perbankan nasional. Selain memperlemah posisi rupiah, kondisi ini juga semakin memperkecil peluang UKM memperoleh akses perbankan.
UU Migas juga bermasalah karena memberi peluang divestasi Pertamina hingga di atas 51 persen. Suatu saat, sebagai konsekuensi, harga migas bisa ditentukan pasar, bahkan di luar negeri sekalipun.
Dari semua itu, yang terbesar adalah asumsi pembangunan yang mendekati taraf "kepercayaan ekonomi". Sejak dekade 1970-an hingga sekarang, asa "memakmurkan rakyat sebesar-besarnya" sebagaimana amanah Pasal 33 UUD 1945 tidak mungkin dicapai. Ini karena proses pembangunan sejak tahun 1970-an hingga sekarang masih sangat berorientasi PDB.
Sekilas, asumsi ini tak bermasalah sepanjang pertumbuhan identik dengan kemakmuran. Masalahnya, pertumbuhan ternyata tidak bersandar pada sektor riil, tetapi pada sektor finansial. Ini menjelaskan mengapa artis Luna Maya atau Cut Tari, sekadar contoh, beralih profesi dari bintang film menjadi hostprogram hiburan televisi.
Fenomena ini berkaitan dengan PDB yang disumbang sektor komunikasi. Sebab, yang ditekankan adalah share-nya terhadap profit yang pada gilirannya dapat dihitung terhadap share sektor di mana dia bekerja terhadap PDB itu. Begitu juga pembangunan jalan tol lebih marak daripada pembangunan jalan kereta api, irigasi, dan bendungan dengan alasan sama. Padahal, kereta api, irigasi, dan bendungan lebih berdampak terhadap perluasan kesempatan kerja.
Dalam konteks orientasi PDB, fakta ini absah, bahkan dibutuhkan. Sensitivitas terhadap sumbangan pertumbuhan ini, dengan demikian, dimulai dari orientasi paling mikro, perorangan, rumah tangga, diukur pada hal paling sensitif terhadap pertumbuhan PDB. Ini berarti, yang tidak sensitif akan ditinggalkan.
Sektor penopang
Dalam perspektif tersebut, perlu diketahui bahwa PDB ditopang pilar atau sektor-sektor. Umumnya topangan terdiri dari sembilan sektor: pertanian, industri, perbankan, jasa, perdagangan, dan seterusnya. Namun, yang dianggap penggerak semua sektor itu adalah bank karena untuk alasan asumsi ekonomi makro yang sangat spesifik, kinerja bank yang bersifat sentralistik bisa memenuhi. Semua bank sentral adalah penjaga kemakmuran dunia.
Inilah yang menjelaskan mengapa bank menjadi pilar pendongkrak pertumbuhan. Namun, demi meliput seantaro daerah atau bahkan dunia, pemberlakuan branch banking systemmenjadi tak terelakkan.
Dalam pelaksanaannya, terjadi pemusatan otoritas yang tecermin pada lokasi kantor pusat. Tak mengherankan, BI, sebagai bank sentral, berlokasi di ibu kota Jakarta. Hal yang sama berlaku pada bank-bank sentral lainnya. Intinya, semua pengaturan moneter harus terpusat. Akibatnya, terjadi proses penyedotan dana dari wilayah pinggiran.
Sifat sentralistik inilah yang mengandung masalah. Dengan orientasi PDB yang secara struktural menggelar branch banking system, terjadi proses "pengeringan" likuiditas dana daerah. Dana yang memusat itu dialokasikan kepada para debitor sekitar kota metropolis, seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bandung.
Mengapa? Sebab, kota-kota metropolis inilah yang sensitif terhadap pertumbuhan. Pada tingkat dunia, dana terkonsentrasi di pusat-pusat dana global, terutama di New York Stock Exchange, Amerika Serikat.
Implikasinya cukup besar. Pertama, muncul hierarki konsentrasi modal global, di mana New York Stock Exchange menempati puncak teratas. Kedua, muncul pula hierarki negara berdasarkan kemampuan mengakumulasi kapital, di mana Amerika Serikat bersama Tiongkok menempati tempat teratas.
Semua fakta ini menjadi faktor penghalang pelaksanaan "ekonomi konstitusi". Apa yang diperlukan? Seperti negara-negara Skandanivia, kuncinya adalah menumbuhkan active state yang konsisten menjabarkan ideologi ekonominya dalam kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
DIDIN DAMANHURI
Guru Besar Ekonomi IPB; Ketua Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (L-KEN); Tenaga Ahli Lemhamnas; dan Anggota Aktif Aliansi Kebangsaan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Menuju Ekonomi Berbasis Konstitusi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar