Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 25 Juli 2015

Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM (ALBERT HASIBUAN)

Penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu, di samping usaha- usaha formal, dapat juga didahului dialog dan pembicaraan yang terbuka antara pemerintah dan masyarakat, terutama korban pelanggaran HAM.

Mengapa dialog? Karena hanya dengan melalui dialogsaya anggap bisa membantu dan mendorong penyelesaian masalah tersebut.

Walaupun ada usaha pemerintah—dalam hal ini Jaksa Agung—membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), di samping tersedianya Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Tap MPR No V/2000, rekomendasi DPR pada 28 September 2009, dan sebagainya, tetapi dialog dan pembicaraan yang konstruktif, ditambah dengan adanya tindakan-tindakan kemanusiaan kepada korban, masih dibutuhkan.

Dalam hal ini, tindakan kemanusiaan adalah tindakan pembe- rian bantuan kepada para korban sebagai bentuk perhatian pemerintah selama penyelesaian pelanggaran HAM belum selesai.

Proses hukum

Saya mengetahui adanya niat baik dari pemerintah, dalam hal ini Jaksa Agung, untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan membentuk KKR. Komisi tersebut terdiri dari Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, BIN dan Komnas HAM. Sebab, dengan niat baik itu dan pembentukan KKR, timbul harapan bahwa penyelesaian beban sejarah dari bangsa Indonesia sudah di ambang pintu. Masyarakat, kemudian, bisa melihat masa depan secara lebih cerah karena salah satu beban sejarah akan berakhir.

Namun, harapan itu menjadi redup. Beberapa waktu lalu Jaksa Agung menyatakan proses rekonsiliasi akan dilangsungkan tanpa mengangkat akuntabilitas hukum para pelakunya. Proses memaafkan terhadap pelaku pelanggaran HAM lebih diutamakan. Pernyataan Jaksa Agung ini, akan menjauhkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM tersebut karena masyarakat memandang berat sebelah dan tidak adil.

Kalau ide atau kebijakan tersebut tidak diperbaiki, maka beban sejarah akan terus digeluti oleh bangsa Indonesia dengan memori kolektif sejarah yang gelap dari masa silam. Sebutan per memoriam ad spem atau dari ingatan menuju harapan, tidak akan terjadi.

Lalu, ada pernyataan dari Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, Romo Franz Magnis-Suseno, dan HS Dillon (Kompas, 24/7). Para aktivis HAM itu menyatakan bahwa proses rekonsiliasiseharusnya diawali dengan langkah hukum dan adanya pembuktian kesalahan. Tanpa proses hukum dan akuntabilitas ini, makamenawarkan rekonsiliasi menjadi tidak tepat dan tidak adil. Sebelumnya, saya juga menerima pernyataan dari Hendardi yang mewakili Setara Institute dengan kritik yang sama.

Saya paham bahwa semua pernyataan tersebut timbul dari keprihatinan para korban. Saya ingat, ketika masih menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2012-2014), turut merasa prihatin dengan para korban pelanggaran HAM berat tersebut.

Kemudian, saya baca tulisan Otto Gusti "Politik Amnesti Tanpa Amnesia" (Kompas, 11/7). Otto Gusti menyatakan, "Rekonsiliasi bukan sekadar membebaskan orang dari hukuman dan memberikan amnesti. Luka-luka masa silam hanya dapat disembuhkan jika kebenaran sungguh terungkap dan mendapat pengakuan. Rekonsiliasi bukan berarti membangun perdamaian di atas kubur tertutup sejarah masa lalu."

Saya setuju, rekonsialisasi bukan membangun perdamaian diatas kubur tertutup sejarah masa lalu. Karena, sebenarnya, rekonsiliasi itu, di samping pemberian maaf dan amnesti, juga mempunyai kemampuan untuk memberikan keadilan restoratif dan reparatif.

Sebutan "never to forget, but to forgive", tidak pernah melupakan, tetapi memaafkan terkait dengan rekonsiliasi ini; bukan dengantidak pernah melupakan dan tidak memaafkan, "never to forget, never to forgive".

Mengapa para korban dan aktivis pembela HAM fokus padaproses hukum? Menurut saya, keinginan ini didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku saat ini, yaitu UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 43 dikatakan, "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc."

Pasal ini menyatakan bahwa proses hukumlah yang seyogianya diambil lebih dahulu kemudian kebijakan-kebijakan lain. Di pengadilan dapat diketahui mengenai kejadian dan masalahnya, para pelaku, bukti-bukti, dan sebagainya.

Mengenai usaha rekonsiliasi (dalam KKR) saat ini, belum jelas sampai di mana wewenang dan tanggung jawabnya. Hal ini mengingatUU No 27/2004 tentang KKR dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Walaupun, dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 47 tertera tentang KKR, tetapi dinyatakan harus dibentuk dengan undang-undang.

Oleh karena itu, saya sarankan untuk secepatnya mengajukan kembali UU tentang KKR ini ke DPR. Saya ingat, ketika sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, berkali-kali ikut membicarakan draf tersebut di Kemenkopolhukam.

Pada pihak lain, saya memahami mengapa Jaksa Agung terdorong untuk memberikan maaf dan amnesti kepada para pelaku dalam suatu proses rekonsiliasi. Alasannya, seperti yang Otto Gusti katakan: "Membongkar luka lama masa lalu dianggap membahayakan stabilitas nasional dan menghambatproses pembangunan tatanan Indonesia. Penguakan sejarah masa lalu lebih dipersulit lagi ketika para pelaku kejahatan masih mengendalikan kekuasaan."

Dialog yang jujur

Ada anggapan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu membuka luka lama yang membahayakan stabilitas nasional. Padahal, penyelesaian secara adil masalah tersebut justru dapat menstabilkan situasi secara nasional dan memperkokoh keadaban bangsa Indonesia di masa depan.

Saya akui bahwa anggapan ini membuat masalah pelanggaran HAM berat menjadi sulit dan tidak sederhana. Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, saya merasakan itu.

Oleh karena itu, diperlukan terlebih dahulu dialog yang jujur dan terbuka, dan pemerintah menginisiasinya. Bukan hanya dengan para korban, melainkan juga dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat.

Dialog tersebut dapat saja berkisar pada pertanyaan: sampai di mana urgensi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu? Bagaimana menghilangkan kesan bahwa membongkar luka lama akanmembahayakan stabilitas nasional?

Mudah-mudahan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memiliki kemauan politik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat ini hingga tuntas.

ALBERT HASIBUAN, ANGGOTA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN 2012-2014

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger