Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 25 Juli 2015

Diktator Yudisial (REZA SYAWAWI)

Ketokan palu hakim Sarpin Rizaldi akhirnya berbuah rekomendasi dari Komisi Yudisial untuk tidak menyidangkan perkara (non-palu) selama enam bulan. Dalam putusannya, Komisi Yudisial menyimpulkan bahwa hakim Sarpin tidak profesional dalam menyusun pertimbangan putusan pada perkara praperadilan Budi Gunawan.

Putusan ini layak diapresiasi meskipun cukup banyak waktu yang dihabiskan Komisi Yudisial (KY) untuk menghasilkan sebuah rekomendasi. Hal ini tentu jadi salah satu penyebab munculnya beragam interpretasi praktik praperadilan yang dilakukan oleh hakim. Sebab, di tengah ketiadaan batasan dalam praperadilan, hakim berpotensi berlindung di balik kemandirian hakim untuk memutus berdasarkan kepentingan pihak tertentu.

Di tengah tingginya ketakpercayaan publik pada penegak hukum konvensional, pengadilan justru memperkuat persepsi publik atas buruknya kinerja penegakan hukum itu. Karena itu, ranah peradilan harus jadi bagian dari upaya membongkar penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sebaliknya.

Tingginya praktik korupsi di Indonesia tak bisa lepas dari kinerja peradilan dalam konteks penegakan hukum. Ada banyak catatan bagaimana hakim disuap, bahkan atas hakim pengadilan tindak pidana korupsi sekalipun.

Dalam persepsi publik, korupsi di peradilan juga menyumbang terhadap tingginya indeks persepsi korupsi di Indonesia. Bahkan, dalam laporan Global Corruption Barometer (GCB), peradilan termasuk dalam tiga besar institusi paling korup di Indonesia selain partai politik/parlemen dan polisi (2009-2013).

Situasi ranah yudisial yang korup sebetulnya sangat kontradiktif dengan konteks reformasi peradilan pasca-Orde Baru. Pemisahan kekuasaan peradilan yang dahulunya dikooptasi eksekutif ditujukan agar penyelenggaraan peradilan dilaksanakan menurut prinsip negara hukum.

Desain reformasi peradilan ini tentu bukanlah menjadikannya sebagai institusi yang memutus suatu perkara tanpa mengindahkan kaidah-kaidah hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku umum. Independensi peradilan juga tak ditafsirkan bahwa kebebasan hakim memutus bukanlah subyek yang bisa dinilai oleh institusi negara lainnya.

Dalam konteks perkembangan hukum terkait praperadilan, misalnya, tidaklah dibiarkan seperti bola liar di mana hakim seolah-olah bertindak sendiri-sendiri tanpa batasan yang jelas dan tegas. Sekalipun perluasan praperadilan adalah hal yang konstitusional menurut putusan Mahkamah Konstitusi, hal itu mesti diberikan batasan agar hakim tidak memutus secara sewenang-wenang.

Jika pembiaran ini dilakukan secara terus-menerus, bukan tak mungkin praperadilan akan menjadi celah bagi mafia hukum untuk menghentikan sebuah perkara pidana. Padahal, penghentian perkara sebagai modus mafia hukum telah lama menjadi catatan kelam bagi penegak hukum konvensional.

Jika berkaca pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), undang-undang jelas menyatakan KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal ini memberikan pesan, penghentian perkara di institusi penegak hukum lain telah disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu, sehingga ini menjadi pemicu bagi KPK untuk memperkuat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan guna menghindari penyalahgunaan kewenangan terkait penghentian perkara.

Oleh karena itu, perluasan kewenangan praperadilan seharusnya disertai batasan-batasan yang jelas agar hakim tidak lagi memutus secara serampangan. Jika tidak, mungkin saja sanksi etik kepada hakim Sarpin yang direkomendasikan oleh KY akan kembali terulang bagi hakim lainnya dalam kasus yang sama.

Selain itu, kewenangan hakim yang begitu besar dalam praperadilan perlu disertai dengan mekanisme pengawasan yang mumpuni. Namun, fakta menyatakan lain, pengawasan internal di Mahkamah Agung (MA) terlihat lumpuh ketika berhadapan dengan fenomena praperadilan ini.

Respons justru muncul dari pengawas eksternal (KY) yang kemudian memberikan rekomendasi sanksi. Namun, hal itu sangat bergantung pada niat baik MA untuk mengamini sanksi tersebut atau sebaliknya.

Kita tengah menghadapi situasi penegakan hukum yang rumit, publik disuguhkan pemandangan penegakan hukum yang tak kondusif. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan seharusnya jadi solusi, bukan justru menjadi diktator yudisial yang memutus secara sewenang-wenang.

REZA SYAWAWI, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Diktator Yudisial".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger