Meskipun hubungan diplomatik antara AS dan Tiongkok baru normal, masing-masing menempatkan duta besarnya di Beijing dan Washington, pada tahun 1979, inilah sejarah besar yang diwariskan oleh Nixon.
Kini, Presiden Barack Obama menulis sejarah hampir mirip dengan yang ditulis oleh Nixon. Pada 11 April 2015, Obama bertemu dan bersalaman dengan Presiden Kuba Raul Castro dalam KTT di Panama. Ini menandai pertemuan pertama di antara pemimpin kedua negara sejak hubungan AS dan Kuba rusak tahun 1961.
Pertemuan Obama dengan Raul Castro terjadi setelah empat bulan sebelumnya keduanya mengumumkan akan memperbaiki hubungan diplomatik. Dan, kemarin, Obama mengumumkan akan memulihkan hubungan diplomatik secara penuh dengan Kuba mulai 20 Juli 2015. Jika pada 20 Juli nanti hubungan diplomatik yang terputus lebih dari setengah abad tersambung kembali, sejak saat itulah sejarah baru hubungan kedua negara mulai ditulis.
"Permusuhan"—putusnya hubungan diplomatik antara AS dan Kuba—merupakan warisan Perang Dingin. Kini, Perang Dingin sudah lama berlalu. Dunia sudah berubah. Lagi pula, dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada, adalah kepentingan yang abadi. Kepentingan nasional menjadi hal paling utama yang harus diperjuangkan.
Hubungan diplomatik adalah salah satu instrumen dari banyak instrumen sebuah pemerintah untuk mewujudkan kepentingan nasional. Instrumen lainnya, misalnya, adalah kekuatan militer, kekuatan ekonomi, operasi dan pengumpulan data intelijen, kultural, serta informasi yang sering disebut sebagai soft power, dan sebagainya.
Kuba bagi AS adalah halaman belakangnya. Pengamanan halaman belakangan adalah sangat penting. Ini kepentingan nasional AS paling pendek. Sebaliknya, Kuba pun membutuhkan AS dalam usaha untuk membangun perekonomiannya. Tuntutan zaman mengharuskan Kuba lebih realistis kalau tidak mau ketinggalan dalam segala bidang, dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan, yang berderap mengikuti langkah zaman.
Keputusan pemerintah obama, meski kurang mendapat dukungan dari Kongres, mendapat dukungan masyarakat. Hasil jajak pendapat, misalnya, yang dilakukan Pew Research, menunjukkan 63 persen mendukung pemulihan hubungan diplomatik. Memang, masih ada berbagai persoalan yang bagi AS, terutama Kongres, menjadi ganjalan bagi pemulihan hubungan. Persoalan yang paling menonjol adalah menyangkut pelanggaran hak asasi manusia. Tentu, ini menjadi PR bagi Kuba agar semakin diterima dalam pergaulan masyarakat internasional.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Dulu Tiongkok, Kini Kuba".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar