Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 Juli 2015

Tajuk Rencana: Pertumbuhan Rapuh Ekonomi AS (Kompas)

Meski diprediksi tumbuh 2,5 persen di 2015 dan 3 persen di 2016, kenaikan suku bunga terlalu prematur bisa jadi ancaman bagi ekonomi AS.

Dana Moneter Internasional dalam publikasinya, Selasa (7/7), mendesak AS untuk tidak terlalu terburu-buru menaikkan suku bunga dan menundanya hingga 2016. Kenaikan suku bunga prematur bisa mengancam pinjaman berbunga rendah dan seluruh sistem keuangan, dan pada akhirnya mengancam pemulihan ekonomi AS itu sendiri.

Dari sinyal terakhir Federal Reserve, dunia mengantisipasi kenaikan suku bunga AS akan terjadi pada akhir 2015. Namun, dengan adanya peringatan IMF, kemungkinan rencana itu bakal ditunda lagi. Spekulasi terkait kenaikan suku bunga AS selama ini membuat pasar finansial dan mata uang dunia, termasuk rupiah, juga cenderung tertekan.

Peringatan IMF sekaligus juga menyinyalkan belum solidnya pemulihan ekonomi AS. Triwulan I-2015, ekonomi AS bahkan sempat mengalami kontraksi kendati pelemahan ini lebih akibat faktor temporer. Pada saat yang sama, kuatnya dollar juga menekan daya saing ekspor negara itu.

OECD bahkan lebih pesimistis lagi. Lembaga ini memprediksi melambatnya seluruh perekonomian besar, termasuk AS dan Tiongkok. Pelambatan juga bakal dialami Inggris, Kanada, dan Brasil. Hanya segelintir negara maju yang mengalami perbaikan ekonomi, yakni Perancis dan Italia.

Prospek melambatnya perekonomian besar dunia ini kian meningkatkan ketidakpastian dan mengancam pertumbuhan global yang belum sepenuhnya pulih dari dampak krisis finansial dunia 2008, apalagi dengan memburuknya krisis di Yunani dan kekhawatiran merebaknya krisis ekonomi lebih serius di Tiongkok.

Yunani gagal bayar, di ambang krisis perbankan serius, dan terancam terdepak ke luar dari zona euro. Sementara, pecahnya gelembung properti dan faktor lain membuat indeks saham Tiongkok pekan ini terpangkas hingga 30 persen, dan Tiongkok, menurut sejumlah ekonom dunia, berpotensi terseret krisis seperti Depresi Besar 1930-an.

Semua itu kabar buruk bagi Indonesia jika kita tidak mampu mengantisipasi dengan baik. Kalaupun kita bisa lolos dari dampak Yunani, kita bakal sulit berkelit dari dampak pelambatan AS dan krisis Tiongkok, mengingat posisi penting mereka dalam perekonomian global atau sebagai mitra dagang Indonesia. Krisis dan pelambatan ekonomi Tiongkok akan kian menekan posisi neraca perdagangan/transaksi berjalan, nilai tukar, dan ekonomi kita.

Pelemahan ekonomi global juga bisa memicu perang stimulus, dan perang nilai tukar antarnegara untuk menjaga daya saing mereka terhadap produk ekspor pesaing.

Situasi eksternal yang cenderung kurang kondusif ini membuat penguatan ekonomi domestik menjadi penting. Dengan ekspor, investasi dan konsumsi domestik seluruhnya berpotensi tertekan, peran pemerintah lewat stimulus fiskal dengan menggenjot belanja modal untuk menggerakkan ekonomi juga kian mendesak. Dalam jangka panjang, perubahan lanskap global menuntut pula adaptasi strategi kebijakan lebih mendasar di dalam negeri.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Pertumbuhan Rapuh Ekonomi AS".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger