Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 Agustus 2015

TAJUK RENCANA: Menggugat Partai Politik (KOMPAS)

Drama tidak elok ditunjukkan elite parpol di tujuh daerah dalam pelaksanaan pilkada 9 Desember 2015. Langkah parpol itu membuat pilkada ditunda.

Dari 269 daerah yang menggelar pilkada serentak, ada tujuh kabupaten/kota, yakni Surabaya, Pacitan, Blitar, Tasikmalaya, Samarinda, Mataram, dan Timor Tengah Utara, yang hanya memiliki satu pasangan calon. Undang-Undang Pilkada mensyaratkan pilkada diikuti minimal dua pasangan calon. Jika pilkada hanya diikuti satu pasangan, mengacu pada peraturan KPU, pilkada ditunda ke gelombang berikutnya, yakni Februari 2017.

Sebagaimana dilaporkan harian ini, Pilkada Surabaya ditunda karena satu pasangan calon, Dhimam Abror Djuraid-Haries Purwoko, yang diusung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional batal mendaftarkan diri. Sebelum menandatangani berkas pendaftaran, Haries meninggalkan ruangan KPU Surabaya, pergi dan tidak kembali. Akibatnya, pasangan Abror-Haries tidak memenuhi persyaratan. Calon petahana Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana menjadi calon tunggal. Pilkada pun ditunda. Kondisi serupa juga ditemui di Pacitan. Pasangan Indartato-Yudi Sumbogo yang diajukan Partai Demokrat jadi calon tunggal karena tidak ada pasangan calon lain yang mendaftar. Demokrat menguasai 15 kursi dari 40 kursi di DPRD Pacitan.

Terlepas dari kelemahan UU Pilkada, menjadi pertanyaan, mengapa partai politik yang memenuhi persyaratan dan punya hak mengusug calon tidak mau mengajukan calon? Bukankah tugas partai politik adalah melakukan rekrutmen politik dan berjuang untuk menggapai kekuasaan? Apakah cara yang ditempuh partai politik itu memang sengaja didesain untuk menunda pilkada dan berarti mengingkari hak rakyat untuk memilih pemimpinnnya? Perilaku politik demikian bisa meningkatkan antipati rakyat terhadap partai politik. Atas perilaku partai politik seperti itu, perlu dipikirkan sanksi hukumnya.

Menunda pilkada hingga Februari 2017 jelas akan merugikan suara rakyat, merugikan pembangunan daerah sendiri. Sesuai ketentuan, di tujuh daerah itu akan ditunjuk pelaksana tugas pimpinan daerah dengan kewenangan terbatas, berbeda dari pimpinan daerah definitif. Seorang pelaksana tugas tidak bisa mengesahkan APBD.

Politik adalah seni. Meski ada batasan waktu, kita tetap mengetuk pimpinan partai politik untuk mau duduk bersama membicarakan kebuntuan politik di sejumlah daerah. Semangat musyawarah mufakat yang menjadi prinsip hidup bangsa ini patut dikembangkan. Kerja sama dan komunikasi antarpartai politik bisa dilakukan. Jika ada komitmen yang jujur soal itu, kita pun mau mendorong KPU untuk memperpanjang masa pendaftaran sejauh tidak mengganggu tahapan pilkada. Penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang memang sebuah opsi. Namun, dampak dan implikasinya harus dipertimbangkan agar kita tak selalu berada dalam situasi genting.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Menggugat Partai Politik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger