Pengantar Redaksi
Indonesia baru merayakan 70 tahun kemerdekaan, umur yang relatif muda untuk sebuah negara. Pada saat bersamaan, usia tersebut mengantar menuju usia 100 tahun. Waktu 30 tahun adalah singkat untuk mengerjakan banyak hal besar bagi sebuah bangsa mencapai cita-cita kemerdekaan. Apalagi di tengah perubahan cepat yang dipicu oleh globalisasi dan perkembangan teknologi.
Cita-cita Indonesia merdeka seperti terdapat dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 10945 adalah berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila. Saat ini, cita-cita tersebut belum tercapai, bahkan ada yang menganggap semakin jauh dari cita-cita masyarakat adil dan makmur. Salah satu ukuran adalah rasio gini sebagai ukuran ketimpangan kemakmuran yang beberapa tahun terakhir mencapai 0,41, tertimpang sejak Indonesia merdeka.
Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa dan sumber daya alam, terutama kelautan, yang melimpah, Indonesia termasuk dalam 20 negara terkaya di dunia. Pertanyaannya, apakah kekayaan tersebut sudah memberi kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat?
Modal penting untuk mencapai cita-cita kemerdekaan adalah penduduk. Indonesia tengah menikmati periode bonus demografi sejak 2012 hingga puncaknya pada 2030. Keadaan ini menjadi modal dasar bagi Indonesia untuk keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah-bawah. Menurut data Badan Pusat Statistik, produk domestik bruto nasional pada 2012 lalu 3.751,38 dollar AS per kapita per tahun, pada 2013 sebesar 3.669,75 dollar AS, dan pada 2014 menjadi 3.531,45 dollar AS karena nilai tukar rupiah yang terus merosot.
Bonus demografi dan kekayaan alam yang besar akan meningkatkan kemakmuran hanya jika dapat dimanfaatkan. Syaratnya, terjadi penguasaan iptek dan kemampuan melakukan inovasi sehingga peran pendidikan, peningkatan keterampilan, dan tingkat kesehatan penduduk menjadi syarat mutlak.
Persoalan lain, kemampuan negara-bangsa Indonesia menghadapi serbuan globalisasi. Globalisasi membawa fundamentalisme agama dan pasar. Keduanya sama-sama melemahkan negara-bangsa kecuali ada kepemimpinan dan kelembagaan mumpuni. Dalam kondisi demokrasi saat ini, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk menjawab kian tergerusnya pemenuhan hak asasi manusia (HAM), termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sering terabaikan.
Globalisasi dan hak ekosob
Menuju usia 100 tahun Indonesia, globalisasi adalah keadaan yang perlu disikapi cermat tanpa menjadi fobia. Dengan segala kebaikan globalisasi dalam persilangan budaya dan perdagangan, globalisasi juga menjadi kendaraan bagi dua ekstrem fundamentalisme yang lahir pasca perang dingin. Fundamentalisme agama dan pasar menjadi dua sisi koin yang berlomba menaklukkan tiap jengkal dunia atas dasar hegemoni penunggalan agama dan pasar.
Globalisasi pada satu sisi menarik sebagian kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal pada arus interdependensi. Negara-bangsa dirasa menjadi terlalu kecil untuk mengatasi tantangan global. Dalam interdependensi, tidak ada negara dapat mengisolasi diri. Pada sisi lain, globalisasi juga menekan negara-bangsa ke arah desentralisasi karena dianggap tidak dapat menyelesaikan persoalan di tingkat lokal. Di Indonesia, tekanan globalisasi melahirkan otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang membawa persaingan berbau etnosentrisme.
Globalisasi mendorong lahirnya pasar bebas yang pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan melindungi jalan hidupnya. Globalisasi melahirkan lembaga suprastruktur di atas negara-bangsa, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Meskipun didirikan untuk tujuan menolong negara-negara yang membutuhkan, dalam praktik, IMF menjadi pintu bagi globalisasi korporasi dan spekulasi tingkat dunia tanpa memerhatikan dampak perilaku korporasi dan spekulasi yang menyengsarakan sebagian besar masyarakat dunia, seperti saat krisis keuangan tahun 2008 di Amerika dan Eropa.
Dalam semangat globalisasi itu, yang terpinggirkan adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) masyarakat. Kebanyakan orang melihat pelanggaran hak asasi manusia sebatas genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan. Dalam kaitan itu, pelanggaran berat hak ekosob dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menguatnya kekuasaan korporasi selama setengah abad terakhir menyebabkan wacana hak asasi di sektor bisnis terpinggirkan. Korporasi besar dan berjangkauan global bidang pertambangan dan perkebunan, contohnya, terus bentrok dengan masyarakat. Perjanjian dengan negara melindungi hak investor, tetapi luput mewajibkan tanggung jawab investor terhadap HAM, termasuk hak ekosob, masyarakat yang terkena dampak investasi.
Situasi tersebut menjadi tantangan yang harus diselesaikan karena melahirkan ketimpangan kemakmuran antara desa dan kota, antardaerah dan antarpulau, ataupun di dalam daerah. Papua, misalnya, adalah daerah dengan sumber daya alam terkaya di Indonesia, tetapi indeks pembangunan manusianya paling rendah.
Pembangunan inklusif
Indonesia tengah menikmati bonus demografi sejak 2012 dan puncaknya tercapai pada 2028-2031. Saat itu, rasio ketergantungan penduduk usia produktif terhadap penduduk anak-anak dan usia lanjut mencapai titik terendah. Kemakmuran negara yang mendapat bonus demografi diasumsikan meningkat cepat. Syaratnya, pembangunan bersifat inklusif, semua warga dapat berpartisipasi penuh.
Manfaat bonus demografi didapat hanya ketika semua penduduk berkualitas dari sisi pendidikan dan kesehatan; ada lapangan kerja berkualitas untuk setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk yang berbasis jender karena perempuan adalah separuh jumlah penduduk; dan program keluarga berencana mencapai target.
Syarat lain, akses terhadap layanan keuangan harus meningkat, uang yang dihasilkan individu produktif dapat ditabung dan menjadi modal pembangunan.
Persoalan dengan bonus demografi Indonesia, saat ini sekitar 60 persen tenaga kerja berpendidikan SMP ke bawah. Baru tahun ini program wajib belajar 12 tahun dilaksanakan meskipun menurut penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia tidak ada insentif melanjutkan pendidikan hingga ke SLTA karena masa mencari kerja lulusan SLTA tiga kali lebih lama daripada lulusan SMP.
Pada 30 tahun mendatang, Indonesia tak lagi menikmati bonus demografi, jumlah warga lansia membesar. Saat itu terjadi, beban ekonomi negara meningkat.
Indonesia dapat menikmati bonus demografi tahap kedua asalkan para warga lansia tetap produktif berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Namun, para warga lansia pada 2045 adalah mereka yang lahir dari generasi 1985 dan sebelumnya yang mempunyai tingkat pendidikan rendah.
Tidak ada jalan lain kecuali memanfaatkan sebaik-baiknya periode bonus demografi yang tinggal 15 tahun lagi. Semua anak usia sekolah harus dipastikan mendapat pendidikan 12 tahun dan tenaga kerja yang bekerja mendapat pelatihan. Selain mata ajaran formal, juga pelatihan kepemimpinan, komunikasi, dan bahasa Inggris sebagai bahasa yang digunakan dalam globalisasi.
Indonesia saat ini berada dalam fase perkembangan ekonomi yang didorong oleh efisiensi. Industri tidak dapat lagi mengandalkan padat karya yang bergaji rendah atau terus tergantung pada sumber daya alam.
Meskipun daya saing Indonesia menurut laporan terbaru Forum Ekonomi Dunia (WEF) berada pada peringkat ke-37 dunia (turun tiga tingkat dari 2014-2015), indeks Indonesia rendah untuk kesiapan teknologi (3,5 dari terbaik 7) dan inovasi (3,9). Hal ini memberi ruang perbaikan untuk peningkatan efisiensi melalui penguasaan teknologi dan peningkatan kecanggihan melalui inovasi.
Masyarakat sipil dan Pancasila
Menghadapi berbagai tantangan yang tidak akan semakin ringan ke depan, Pancasila adalah pegangan yang sudah disiapkan para pendiri bangsa dan akan tetap relevan.
Tarik-menarik antara globalisasi dan reaksi lokalitas menghadirkan demokratisasi dan perlindungan HAM sekaligus menguatnya politik identitas berdasarkan etnis, bahasa, agama, dan bangsa.
Globalisasi juga melahirkan fundamentalisme pasar yang menekan hak ekosob. Perluasan pasar melupakan kepedulian sosial serta meningkatkan ketimpangan di dalam negara dan antarnegara.
Sebagai keniscayaan, globalisasi memperlihatkan pentingnya kerja sama dan perdagangan global. Namun, globalisasi juga membawa dampak negatif bagi negara-bangsa dan warga negara.
Di dalam tekanan globalisasi yang melemahkan peran negara-bangsa, revitalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi keharusan. Ke masyarakat internasional, Indonesia tetap harus ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sementara ke dalam, Pancasila menjadi panduan melaksanakan HAM dalam arti luas, memberi konteks penegakan HAM dalam kenyataan Indonesia sebagai masyarakat yang beragam.
Dalam mendialogkan nilai-nilai serta kepentingan bersifat privat dan nilai serta kepentingan yang bersifat publik, dapat timbul ketegangan karena yang publik sangat mungkin ditafsirkan dari nilai dan kepentingan privat. Di sinilah peran penting masyarakat sipil.
Masyarakat sipil berbeda dari masyarakat politik dan komunitas budaya. Di dalam masyarakat sipil, berbagai kelompok budaya dengan sistem nilai mereka masing-masing dapat membahas dan menemukan bahasa publik yang tidak menyangkal nilai dan kepercayaan tiap kelompok.
Masyarakat sipil justru berperan mengungkapkan bahasa suatu kelompok budaya ke dalam bahasa publik yang dipahami para warga dan kelompok budaya yang lain. Masyarakat sipil menjadi tempat mendiskusikan, menegosiasikan, memproduksi, dan menyosialisasikan bahasa publik untuk kepentingan bersama.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Asa Menuju 100 Tahun Indonesia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar