Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 02 Oktober 2015

Bergerak Segera, Strategi Tepat (Kompas)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2015 sebesar 4,67 persen lebih rendah daripada triwulan I-2015 sebesar 4,72 persen. Hal itu menguatkan tren pelambatan pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut.

Pada triwulan I-2011, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 6,5 persen. Namun, pada triwulan berikutnya hingga triwulan II-2015 pertumbuhan PDB terus turun.

Defisit transaksi berjalan

Dari sisi transaksi berjalan, Indonesia mulai defisit sejak triwulan IV-2011. Secara tahunan, neraca transaksi berjalan defisit 2,8 persen daripada PDB 2012, defisit 3,3 persen daripada PDB 2013, dan defisit 2,9 persen daripada PDB akhir 2014. Transaksi berjalan dihitung dari ekspor dan impor barang, jasa, serta pendapatan. Kondisi defisit berarti Indonesia memerlukan dollar AS untuk membayar impor yang lebih besar daripada ekspor sebab dollar yang diperoleh dari ekspor tidak mencukupi kebutuhan.

Di sisi lain, utang luar negeri Indonesia meningkat pesat, terutama utang swasta. Besar utang swasta yang pada akhir 2011 sebesar 83,789 miliar dollar AS meningkat 27 persen menjadi 106,732 miliar dollar AS pada akhir 2012. Akhir 2013, utang luar negeri swasta meningkat 18,28 persen menjadi 126,245 miliar dollar AS.

Indonesia adalah pengimpor bahan baku atau bahan penolong dan barang modal. Bahan baku dan penolong umumnya dibutuhkan industri manufaktur. Barang modal, antara lain, berupa mesin pabrik. Pada Januari-Agustus 2015, nilai impor 96,3 miliar dollar AS yang 75,54 persennya berupa bahan baku dan bahan penolong dan 16,97 persen barang modal.

Ekspor Indonesia pada Januari-Agustus 2015 mencapai 101,52 miliar dollar AS yang 12,6 persennya berupa ekspor migas. Keseluruhan, ekspor didominasi industri pengolahan, yakni 70,44 persen dari total ekspor.

Namun, perekonomian Indonesia masih terpusat di Jawa. Per triwulan II-2015, Jawa menyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) 58,35 persen. Berikutnya, Sumatera menyumbang 22,31 persen. Dengan jumlah penduduk lebih dari 240 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar menggiurkan bagi barang konsumsi. Apalagi, mengacu pada data McKinsey tahun 2012, ada 45 juta orang yang masuk kelompok masyarakat kelas konsumsi. Dari jumlah sebanyak itu, 55 juta orang merupakan pekerja berketerampilan. Sebanyak 53 persen penduduk akan tinggal di perkotaan yang menyumbang 74 persen PDB.

McKinsey juga menyebutkan, akan ada 135 juta penduduk dalam kelompok konsumsi pada 2030. Sementara jumlah pekerja berketerampilan sebanyak 113 juta orang. Sebanyak 71 persen penduduk perkotaan akan menyumbang 86 persen PDB.

Dengan kondisi seperti itu, Indonesia menjadi pasar sekaligus memiliki peran penting dalam perekonomian dunia, dengan catatan, Indonesia bisa memanfaatkan peluang yang tersedia.

Strategi industrialisasi

Lembaga Demografi Universitas Indonesia memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia pada 2045 mencapai 321,86 juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk itu berhadapan dengan fakta pertambahan jumlah tenaga kerja yang ternyata tak sebanding. Elastisitas atau penyerapan tenaga kerja dalam pertumbuhan ekonomi juga tak sebesar target, bahkan cenderung merosot. Pada 2014, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 120.000 tenaga kerja dan dalam APBN Perubahan 2015 ditargetkan menyerap 250.000 tenaga kerja.

Dengan tantangan itu, Indonesia harus memiliki strategi tepat. Ditilik dari struktur perdagangan, Indonesia semestinya memiliki siasat menekan impor bahan baku dan bahan penolong dengan menyusun industri substitusi impor agar bisa keluar dari kebutuhan dollar dalam jumlah besar untuk membayar impor. Industrialisasi tersebut harus dikembangkan juga untuk keperluan ekspor, menggantikan ekspor komoditas selama ini.

Solusi lain, Indonesia mengembangkan industri pengolahan menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang tersedia di dalam negeri. Misalnya, industri pengolahan hasil laut, perikanan, perkebunan, dan pertanian yang selama ini belum digarap optimal. Saat ini, produksi perikanan tangkap berkisar 6,5 juta ton-7 juta ton per tahun, sementara perikanan budidaya sebesar 14 juta ton dengan 9 juta ton berupa rumput laut.

Salah satu kendala hasil kelautan dan perikanan belum tergarap optimal adalah sarana belum tersedia baik dan kepastian pasokan ikan belum terjaga. Padahal, perikanan dan kelautan merupakan sektor yang layak dikembangkan, antara lain karena serapan tenaga kerja banyak. Setidaknya kemakmuran 2,7 juta nelayan akan meningkat jika kapasitas sektor kelautan dan perikanan bertambah.

Kendala lain, ketidaksinkronan antara hulu dan hilir. Sebagian besar industri hilir perikanan dan kelautan di bagian barat. Potensi perikanan terbesar justru di bagian timur. Untuk membawa ikan dari timur ke barat perlu waktu sehingga butuh gudang pendingin. Padahal, ketersediaan listrik di kawasan timur belum memadai.

Hilirisasi perikanan dan kelautan hanyalah satu contoh pentingnya memilih strategi industrialisasi. Strategi harus dimatangkan dan direalisasikan dengan tepat dan cepat. Jika tidak, Indonesia hanya akan tumbuh ala kadarnya. Infrastruktur yang mulai dikerjakan tahun ini bisa jadi tak akan besar dorongannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Panjang Nasional 2015-2019 menyebutkan, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2019. Konsistensi pemerintah menyusun strategi dengan matang menjadi harapan rakyat.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Bergerak Segera, Strategi Tepat".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger