Soekarno, 1 Juni 1945
Pemerintahan Joko Widodo kini sibuk mengatasi persoalan perekonomian dalam negeri yang dilanda krisis. Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar Amerika Serikat dan cadangan devisa negara pun tergerus.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden menyebutkan, kondisi saat ini tak bisa dilepaskan dari situasi global. Dollar AS sedang menguat dan Pemerintah Tiongkok mendevaluasi mata uang yuannya. Kondisi global "dituduh" menjadi penyebab keterpurukan kehidupan rakyat di negeri ini. Pemerintah terus berupaya mengatasi persoalan sambil berharap situasi global berubah ke arah lebih baik, dan ketidakpastian perekonomian dunia bisa segera berakhir.
Posisi Indonesia
Apabila mau menengok ke dalam diri sendiri sebagai bangsa, dasar falsafah bernegara, Pancasila, sesungguhnya telah mengantisipasi dampak buruk globalisasi. Bahkan, sikap antisipatif itu tidak hanya berlaku saat ini, tetapi bisa jadi hingga 70 tahun mendatang.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menekankan prinsip globalisasi yang dikembangkan hendaknya memuliakan nilai-nilai keadilan dan beradab. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan prinsip menolak dominasi pasar dengan mengupayakan keseimbangan antara negara, komunitas (koperasi), dan pasar (swasta).
Pada ranah ekonomi, pergerakan global memberikan peluang baru, terutama bagi negara, bangsa, atau pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Namun, globalisasi juga membelah dunia ke dalam pihak "yang menang" dan "yang kalah" serta menumbuhkan ketidaksetaraan secara internasional ataupun dalam negara. Posisi Indonesia ada di mana?
Dalam posisi saat ini, masa depan Indonesia, juga negara yang lain, seperti dikatakan Paul Hirst dan Graham Thompson dalam bukunya, Globalization in Question (Cambridge, Polity Press, 1996), tergantung dari pemimpin dan warganya. Negara-bangsa akan tetap bertahan, sampai kapan pun, asalkan pemimpin dan warganya responsif terhadap globalisasi.
Organisasi supranasional dan perusahaan multinasional memang kian menyurutkan peran pemerintah dalam suatu negara. Namun, negara tetap berperan sebagai lokus utama bagi identitas warganya sejauh belum ada institusi lain yang dapat menggantikan dalam merespons perubahan global. Negara masih punya peran penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Masa depan Indonesia sebagai negara, dan juga nasib rakyatnya, dalam situasi krisis saat ini amat bergantung pada kemampuan pemerintah sebagai pengelola negara untuk menentukan langkah ke depan. Hal ini tentu dengan mengandalkan kemampuan pada diri negara atau bangsa ini.
Bahasa publik
Dasar dan falsafah negara ini, Pancasila, telah memberikan arahan sangat jelas untuk masa depan. Pancasila, setelah sekian lama kita lupakan, kini saatnya diangkat sebagai bahasa yang sama bagi siapa pun di negeri ini. Pancasila menjadi bahasa publik untuk bersama-sama mengatasi masalah bangsa dan keluar dari keterpurukan. Jika setiap orang berbicara dengan bahasanya sendiri, sesuai yang diketahui dan dipelajari dari komunitasnya, tentu susah bagi bangsa ini untuk mengatasi persoalan. Pancasila-lah yang selama ini, dan seterusnya, menyatukan bahasa yang berbeda itu agar menjadi bahasa publik yang dimengerti siapa pun warga negara-bangsa ini.
Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam politik dan ekonomi, misalnya, prinsip sosio-demokrasi, yang tertuang dalam sila keempat dan kelima, memberi solusi andal. Demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada ranah ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial untuk mengatasi dan mengimbangi ketidakadilan di pasar dengan menjaga iklim kompetisi yang sehat, membela yang lemah, serta berinvestasi dalam usaha dan layanan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dengan semangat sila kelima, Indonesia sebenarnya memiliki pandangan dunia yang visioner dan tahan banting. Prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan, antara lain, paham kebangsaan yang chauvinisdengan globalisme triumfalis, antara pemerintahan otokratis dan demokrasi yang didorong pasar-individualis, serta antara ekonomi etatisme dan kapitalisme predatoris.
Dalam hal ini, apalagi setelah 70 tahun Indonesia merdeka dan banyak anak bangsa di negeri ini belum sepenuhnya merdeka dari kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan korupsi, pemahaman pemerintah dan rakyat tentang Pancasila perlu disegarkan dan dibumikan kembali. Kecenderungan penyimpangan kehidupan berbangsa dan bernegara dari Pancasila semestinya menyadarkan siapa pun di bumi Indonesia untuk menghidupkan kembali api revolusi, mengarungi dinamika, romantika, dan logika revolusi sejalan dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa ini.
Revolusi (mental) yang diteriakkan pemerintah saat ini dalam bidang ekonomi semestinya diarahkan agar bangsa ini bisa berdikari dengan mewujudkan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran, berlandaskan usaha gotong royong, dan penguasaan negara atas cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup banyak orang serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hak milik pribadi dengan fungsi sosial tetap diberi peluang. Proklamator Mohammad Hatta juga mengingatkan emansipasi (rakyat) dalam perekonomian nasional, seperti koperasi, yang kini banyak dilupakan di negeri ini, tetapi diakui serta diadopsi di banyak negara lain. Pancasila sebagai bahasa publik tidak akan memperlemah kelompok komunal yang hidup dengan nilai-nilai mereka sendiri. Mereka tetap dilindungi. Pada titik inilah peran strategis masyarakat sipil di Indonesia untuk terus menghidupi Pancasila sebagai bahasa publik, bahasa warga negara, untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar