Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 02 Oktober 2015

TAJUK RENCANA: Mencari Lagi Momentum (Kompas)

Wacana rekonsiliasi menggema lagi dalam panggung politik. Rekonsiliasi, sebuah wacana yang wajar, sebagai upaya membangun peradaban bangsa.

Perjalanan bangsa Indonesia ditandai dengan sejarah hitam. Bukan hanya Indonesia, melainkan juga negara lain. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi dalam sejarah RI. Ada peristiwa tahun 1965, ada peristiwa Tanjung Priok 1984, ada peristiwa Mei 1998, dan sejumlah peristiwa lain. Banyak korban jiwa dalam rangkaian pelanggaran hak asasi itu.

Setelah Orde Baru berakhir, bangsa ini mencoba mencari formula untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ada dua polarisasi pandangan: mengajukan pelanggar hak asasi ke pengadilan, seperti model Amerika Latin, atau model pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi model Afrika Selatan (Afsel).

Tampilnya Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri sebenarnya merupakan momentum terbaik untuk menjalin rekonsiliasi antar-anak bangsa. Kesuksesan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Afsel menjadi referensi bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan Afsel menyelesaikan masalah masa lalu tidak bisa dilepaskan dari sosok Nelson Mandela yang pernah ditahan pada rezim apartheid kemudian menjadi Presiden Afsel dan Uskup Desmon Tutu (Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afsel).

UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disetujui DPR dan diundangkan Presiden Megawati pada 6 Oktober 2004. Sayang, usia UU KKR itu tidak berlangsung lama. Mahkamah Konstitusi membatalkan eksistensi UU KKR sehingga momentum untuk melakukan rekonsiliasi nasional tidak tercapai.

Gagal menggunakan sarana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bangsa ini menempuh jalan pengadilan. Dibentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Tanjung Priok dan pengadilan HAM ad hoc Timtim, tetapi hasilnya masih menimbulkan catatan. Pembentukan pengadilan HAM ad hoc kerusuhan Mei tak bergerak karena problem yuridis-politis. Kemudian dibentuk lagi komisi kebenaran level regional, seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.

Berbagai jalan telah ditempuh, tetapi belum berhasil. Korban tetaplah menjadi korban, sementara orang yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM tetap bebas. Kini, Presiden Joko Widodo yang tidak punya beban masa lalu membentuk Tim Rekonsiliasi guna menyelesaikan isu pelanggaran hak asasi. Langkah itu patut didukung untuk menyelesaikan kasus masa lalu, sekali dan selesai. Meskipun momentumnya sedikit terlambat, upaya menyelesaikan masa lalu dengan cara yang bisa diterima semua pihak adalah keniscayaan. Tanpa ada penyelesaian komprehensif, masa lalu akan selalu menggelayuti masa depan dan itu akan mengganggu konsolidasi demokrasi. Namun, hal itu membutuhkan karisma, wibawa, serta ketokohan seorang pemimpin yang sungguh mencintai bangsa ini.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Mencari Lagi Momentum".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger