Kita katakan baru karena inilah untuk pertama kalinya Rusia terlibat secara langsung dan nyata dalam usaha untuk, sekurang-kurangnya, menghambat gerakan Negara Islam di Irak dan Suriah dan melumpuhkannya. Selama ini, gempuran militer lewat serangan udara terhadap posisi NIIS di Suriah dan Irak dilakukan koalisi pimpinan AS.
Keinginan Rusia ambil bagian, bahkan boleh dikatakan terlibat aktif, dalam memerangi kelompok NIIS secara jelas dinyatakan Presiden Vladimir Putin dalam Sidang Majelis Umum PBB belum lama ini. Meskipun "sedikit" berbeda pandangan dan tujuan dengan AS, seperti yang diungkapkan Presiden Barack Obama, Putin secara tegas menyatakan perlunya aliansi internasional untuk menghabisi NIIS.
Tentu bukan tanpa alasan kalau sekarang Rusia terlibat. Selama ini, memang, sejumlah negara terlibat terjun dalam usaha membantu menyelesaikan krisis di Suriah. Namun, setiap negara memiliki tujuan yang berbeda. Iran, misalnya, telah mengirimkan pasukan tempur dan para petarungnya bersama dengan laskar Hizbollah ke Suriah untuk membantu pasukan pimpinan Bashar al-Assad. Meski mendapat dukungan Iran, Bashar tetap kehilangan banyak wilayahnya, dikuasai NIIS.
Turki memiliki kepentingan lain. Mereka terlibat dalam krisis di Suriah untuk memerangi, yang dalam bahasa Ankara disebut sebagai kelompok separatis, Partai Buruh Kurdistan. AS ingin menumpas NIIS dengan membantu para pejuang Suriah. Arab Saudi dan Qatar mendukung kelompok Islamis yang sejalan dengan mereka.
Rusia sendiri memiliki tujuan ekonomis dan geostrategik di Suriah. Moskwa ingin mengamankan Pelabuhan Tartus yang merupakan pangkalan angkatan laut satu-satunya di Timur Tengah. Pangkalan ini menjadi batu pijakan masuk ke kawasan Timur Tengah sekaligus menjadi bukti kehadirannya dalam persaingan dengan AS.
Untuk tujuan itu, Rusia mendukung rezim Bashar al-Assad (AS tidak lagi menginginkan Bashar al-Assad) demi terjaganya Tartus. Rusia juga berkepentingan menghentikan proses radikalisasi yang kini tumbuh di Suriah. Hal itu dilakukan untuk mencegah agar proses itu tidak menular ke wilayahnya, tidak menginspirasi kaum separatis di Kaukasus Selatan.
Pada akhirnya, Rusia, AS, dan negara-negara Arab semakin bersikap pragmatik dalam menghadapi NIIS. Ada kesatuan pendapat bahwa proses radikalisasi harus dihentikan untuk mencegah bertumbuhnya pandangan dan gerakan ekstremisme yang akan mengusik dan merusak perdamaian dunia. Itulah yang antara lain mendorong aliansi internasional bergerak.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Aliansi Internasional Hadang NIIS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar