Seiring meningkatnya kemampuan ekonomi warga, kebutuhan pangan, energi, hingga barang tersier, terutama produk teknologi dan penunjang gaya hidup, ikut melonjak. Pada saat bersamaan, tekanan lingkungan membesar. Sumber daya alam kian tergerus dan dampak pemanasan global makin terasa.
Meningkatnya populasi penduduk tua dan perubahan gaya hidup membuat pola penyakit pun kian kompleks. Perkembangan teknologi membuat hubungan manusia dengan mesin meningkat. Kemajuan dunia digital juga membuat batas negara, bangsa, dan budaya menisbi. Interaksi masyarakat Indonesia dengan lebih dari 9 miliar penduduk Bumi lain makin mudah meski persaingan kian sengit.
Dalam persaingan itu, semua negara berusaha jadi yang terdepan. Menguasai sumber daya terbaik sebanyak-banyaknya untuk menjadikan bangsa mereka unggul, produktif, dan berdaya saing. Keunggulan dan daya saing itu hanya bisa diraih jika menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Penguasaan iptek ditandai munculnya karya inovasi yang akan menjamin keberlangsungan pembangunan ekonomi. Tanpa inovasi, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa tak akan progresif.
Rendahnya inovasi itulah yang jadi persoalan besar bangsa Indonesia. Tak berarti bangsa Indonesia tak inovatif dan kreatif, tetapi sistem dan struktur yang dibangun pemerintah justru menumpulkan inovasi anak bangsa. Munculnya inovasi butuh investasi yang konsisten, terintegrasi, dan terarah karena harus dilakukan jangka panjang.
Pendanaan untuk mendorong munculnya inovasi di Indonesia sejak dulu hingga kini tak pernah lebih dari 0,09 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB), jauh dari rasio ideal 2 persen PDB. Itu pun dihambat proses pencairan, administrasi, dan birokrasi, serta memiliki konsekuensi hukum.
Tidak ada dukungan
Di ASEAN, dana riset Indonesia hanya lebih baik dari Laos dan Kamboja. Belanja riset negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) yang jadi pesaing ekonomi Indonesia lebih dari 1 persen PDB. Sementara negara dengan pertumbuhan industri tinggi dan lonjakan kesejahteraan warga, seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, sekitar 3 persen.
Alhasil, produk pengetahuan Indonesia dalam bentuk publikasi di jurnal ilmiah ataupun paten sangat rendah, bahkan dibandingkan mantan "murid", Malaysia. Pasar produk teknologi, barang industri, hingga produk pertanian-peternakan bermutu pun didominasi produk inovasi bangsa lain. Sebaliknya, ekspor Indonesia ke negara lain masih dipenuhi bahan mentah hasil eksplorasi alam yang sebentar lagi pasti habis.
Inovasi juga membutuhkan sumber daya manusia memadai. Rasio peneliti dan perekayasa Indonesia terhadap jumlah penduduk tergolong yang terendah di dunia, sekitar 40 orang per 1 juta penduduk. Malaysia yang jadi rujukan pendidikan tinggi sebagian masyarakat Indonesia saat ini memiliki rasio 1.600 orang per 1 juta penduduk. Rendahnya tenaga peneliti dan perekayasa di Indonesia merupakan buah dari kecilnya jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, bidang sains dan teknologi juga kurang diminati atau daya tampung terbatas. Karier peneliti atau perekayasa di lembaga penelitian atau industri pun dianggap tak prospektif.
Sebagian besar peneliti dan perekayasa Indonesia bekerja sebagai akademisi di perguruan tinggi dan birokrat di pemerintahan. Sangat sedikit yang berkiprah di industri. Aktivitas riset mereka pun sangat kurang. Waktu lebih banyak digunakan untuk mengerjakan persoalan administrasi, mengajar, atau pengabdian masyarakat. Kolaborasi riset dan rekayasa antara akademisi di lembaga penelitian atau perguruan tinggi dan industri pun rendah. Padahal, industrilah yang punya kemampuan mengembangkan riset tersebut menjadi produk sesuai kebutuhan pasar.
Buruknya hubungan akademisi dengan industri itu disebabkan kurangnya saling pengertian dan kepercayaan di antara lembaga-lembaga tersebut. Industri menilai akademisi tak paham kebutuhan, tak membumi, dan terlalu birokratis. Sementara akademisi memandang industri terlalu serakah dan tidak idealis.
Menjadi tugas pemerintah menjembatani ketidakselarasan tersebut. Masalahnya, baik akademisi maupun industri sering kali mencurigai niat dan keefektifan pemerintah. Akibatnya, upaya membangun kemitraan di antara akademisi, industri, dan birokrasi melalui konsep ABG (academy, business, government) atau triple helix selama bertahun-tahun tak membuahkan hasil optimal.
Padahal, semua pihak yakin iptek penting bagi bangsa. Titik simpul yang jadi masalah dalam pengembangan inovasi pun diketahui. Beberapa upaya mengurai simpul masalah pun sudah dilakukan meski hasilnya jauh dari memuaskan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Keberlangsungan Pembangunan Bangsa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar