Lalu, lahirlah "bangsa malin kundang" yang durhaka, tega menghancurkan rahim ibunya dan membakar budayanya. Ironisnya, bangsa malin kundang justru bangga menjadi "manusia-manusia baru" bermental serba penakluk, penghancur, oportunistik, dan penggasak apa saja atas nama kebebasan dan kerakusan.
Tanah air, bangsa, nilai-nilai budaya lokal, keadaban, tradisi, sejarah, narasi-narasi leluhur, dan identitas diri tinggal akhirnya jadi kerak yang menumpuk di ceruk benak. Semuanya telah dibakar demi sesembahan atas nilai-nilai baru/asing destruktif yang mengatasnamakan kepentingan kuasa kapital, produksi, dan konsumsi. Investasi modal asing dan pertumbuhan ekonomi dianggap jauh lebih penting daripada budaya dan ideologi.
Namun, ironisnya, semua impian itu nihil karena yang muncul hanyalah kemiskinan dan kehancuran kebudayaan bangsa. Negara tanpa kebudayaan terbukti gagal membangun peradaban dan kesejahteraan.
Selama ini, pemerintah masih terperangkap pemahaman klasik: kebudayaan bisa hidup sendiri tanpa pengayoman (regulasi, politik anggaran, dan kebijakan operasional). Pemerintah masih memandang kebudayaan sebagai entitas nilai yang berada di kotak museum dan tidak berhubungan dengan kesejahteraan publik pendukungnya.
Hal lain yang tak kalah membikin miris adalah makin banyak produk kebudayaan lokal yang nyaris lenyap atau bahkan sudah punah. Sebut saja bahasa daerah, kesenian tradisional, upacara adat, dan sistem kepercayaan (budaya spiritual). Adapun budaya modern, karya masyarakat, juga kurang mendapatkan ruang aktualisasi. Budaya massa/poplah yang dibiarkan dominan.
Problem klasik di atas hanya contoh kecil dari sikap abai pemerintah terhadap kebudayaan dan para pendukungnya. Ini karena belum dimilikinya strategi kebudayaan yang jelas oleh pemerintah dan penyelenggara negara. Pengelolaan kehidupan bernegara-bermasyarakat seperti asal jalan, tanpa panduan kebudayaan, justru mengikuti arus utama: ekonomi sebagai panglima. Ketika ekonomi jadi ukuran dominan dan determinan, perhitungan yang digunakan hanyalah untung dan rugi.
Celakanya, ketika datang keuntungan, pihak yang menikmati hanyalah elite politik dan elite ekonomi. Sementara ketika muncul kerugian, rakyat harus turut menanggung. Misalnya dengan keikhlasan hidup pontang-panting di tengah "pertumbuhan ekonomi yang melambat", sebuah istilah lain dari krisis ekonomi. Atau terlucutinya identitas kebudayaan dan karakter bangsa.
Tata kelola kebudayaan
Negara tanpa strategi kebudayaan adalah negara tanpa masa depan peradaban dan kesejahteraan. Ia hanya menjadi subordinasi dari kuasa ekonomi dan politik bangsa asing. Ini tak beda dengan negara terjajah.
Bangsa pun mengidap mental pekathik(abdi dalam sistem kekuasaan hegemonik-absolut). Tugas pekathikhanyalah patuh kepada tuannya (penguasa politik dan ekonomi serta kaum pemodal). Pekathik tak pernah sadar siapa dirinya, tak punya identitas, karakter, martabat, dan masa depan. Ia bekerja seperti mesin yang hanya bisa bilang sendika ndara, injih ndara tuan juragan (siap, baginda).
Orang-orang yang berjarak dengan praktik kebudayaan di masyarakat mungkin saja tak menganggap penting UU Kebudayaan. Namun, mereka yang tahu persis "babak belur" kebudayaan pasti berpendapat sebaliknya.
Kebudayaan tidak hanya berkiatan dengan nilai, ide, kreativitas, tetapi juga produk budaya tangible (benda) danintangible (tak benda), sistem perilaku, ekspresi, hak cipta, kelembagaan, dan tata kelola yang melibatkan individu, masyarakat, dan negara. Pada konteks nilai, ide, dan kreativitas, kebudayaan tidak membutuhkan UU kecuali dukungan.
Namun, UU dibutuhkan dalam tata kelola kebudayaan: melindungi, melestarikan, mengembangkan, serta memanfaatkan bagi tujuan kemuliaan/kesejahteraan manusia dan membangun peradaban bangsa. Di dalamnya termasuk perlindungan atas hak intelektual, hak berkebudayaan, hak berekspresi secara estetik dan non-estetik, dan lainnya.
Kebudayaan tak bisa hadir (dibiarkan) sendirian di wilayah publik ketika berhadapan dengan kuasa politik, sosial, dan ekonomi. Kebudayaan terlalu ranum dan lunak ketika berhadapan dengan kekuasaan predatoris, baik level individu, kelompok, maupun lembaga yang bersikap anti kebudayaan. Kebudayaan juga terlalu rapuh berhadapan dengan bakteri dan virus mematikan yang diproduksi kekuasaan anti kebudayaan, baik atas nama politik, ekonomi, maupun agama. UU Kebudayaan protektor yuridis yang amat dibutuhkan.
INDRA TRANGGONO
PEMERHATI KEBUDAYAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar