Setelah Minggu (27/9) memutuskan belum akan mengimpor beras, Presiden Joko Widodo terus memantau stok beras yang dipegang Bulog mencukupi untuk keperluan masyarakat miskin dan operasi pasar nonraskin.
Keseriusan Presiden memastikan kecukupan stok pangan, terutama beras, memperlihatkan visi Presiden, yaitu Indonesia harus mandiri pangan.
Segala upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan. Presiden menargetkan, selama tiga tahun pemerintahannya, Indonesia akan swasembada beras, kedelai, jagung, kemudian swasembada gula pada tahun keempat, dan tahun kelima swasembada daging sapi.
Saat ini perhatian difokuskan pada swasembada beras. Pemerintah meningkatkan anggaran pertanian untuk penyediaan pupuk, benih, traktor, dan mesin pemompa air. Saluran irigasi diperbaiki dan pembangunan bendungan dipercepat, seperti Jatigede di Sumedang, Jawa Barat.
Upaya swasembada, terutama beras, tidak mudah. Saat ini Indonesia mengalami kekeringan panjang akibat fenomena iklim El Nino yang kuat. Diprediksi musim kering dapat berlanjut hingga Januari 2016. Saat ini pun sejumlah bendungan berukuran kecil di Jawa sudah mengering.
Dalam kondisi normal bulan September, hujan mulai turun dan petani dapat mengolah sawah tadah hujan. Bulan lalu praktis curah hujan belum mencukupi untuk memulai bertanam padi. Bantuan pompa air menjadi kurang efektif ketika sumber air menyusut.
Belajar dari kondisi saat ini dan melihat kebutuhan ke depan yang akan terus meningkat sejalan kenaikan jumlah penduduk, tidak ada salahnya pemerintah meninjau lagi target swasembada pangan.
Beras memang sumber karbohidrat, tetapi bukan satu-satunya. Indonesia amat kaya sumber karbohidrat yang telah menjadi pangan sehari-hari kelompok-kelompok masyarakat. Pangan bukan hanya beras, melainkan ada sayuran, sumber protein nabati dan hewani. Sumber protein hewani juga bukan hanya daging sapi, melainkan bisa telur, daging ayam, dan ikan yang berlimpah dari laut, sungai, dan danau.
Pada tahun 1990-an sudah muncul saran dari masyarakat, termasuk akademisi, untuk tidak mengejar swasembada beras. Upaya diversifikasi karbohidrat sudah beberapa kali dilakukan, tetapi tidak pernah dijalankan konsisten. Memproduksi beras juga tidak murah secara lingkungan karena memerlukan banyak air, terutama padi di lahan berpengairan. Beras memiliki indeks glikemik tinggi, kurang cocok untuk pengidap gula darah tinggi.
Mengembangkan pangan lokal tidak hanya mengurangi beban produksi beras, tetapi juga menggerakkan perekonomian lokal, terutama ekonomi perempuan tani. Mendiversifikasi pangan baik untuk kesehatan dan mendukung keberagaman Indonesia.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Diversifikasi Pangan, Kurangi Beras".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar