Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 05 Oktober 2015

Kebuntuan Akal Sehat (SAIFUR ROHMAN)

Dua petani yang menolak penambangan pasir di Lumajang, Jawa Timur, telah dianiaya secara keji sehingga satu orang tewas dan satu orang luka berat, Sabtu (26/9) lalu.

Penyebabnya, dua korban ini dianggap sebagai pemimpin gerakan demonstrasi untuk menentang penambangan pasir di Desa Selo, Awar-awar, Pasirian. Sehari kemudian, polisi menahan 18 pelaku. Diperoleh keterangan, mereka menyatakan kesal kepada pelaku yang menggalang aksi demo terus-menerus untuk menolak kegiatan tambang (Kompas, 29/9/2015).

Sekitar sebulan sebelumnya, 28 Agustus 2015, pembunuhan juga dilakukan oknum aparat ketika warga melarangnya melintasi jalan yang sedang ditutup sebagian untuk acara ritual memukul tifa di Timika, Papua. Larangan itu menjadi pemicu konflik yang berujung pada penembakan. Dua warga tewas akibat luka tembak di perut yang tembus hingga punggung dan luka di bawah telinga, tiga lainnya mengalami luka-luka.

Kasus di Jatim dan di Papua itu hanya sebagian kecil dari fenomena sosial yang memiliki kemiripan pola dalam penyelesaian masalah sosial. Ketika praktik sosial butuh akal sehat sebagai alat ukur yang bisa dipahami bersama, muncul tanya: kenapa kekerasan dianggap sebagai solusi atas konflik yang terjadi di tengah masyarakat? Bagaimana efektivitas nalar sebagai pemecahan masalah kehidupan berbangsa?

Suka atau tidak, ketika akal sehat buntu, masyarakat memilih kekerasan sebagai solusinya. Dalam teori, masalah-masalah sosial dipecahkan melalui dialog yang bebas dan setara. Hal itu sekurang-kurangnya ditunjukkan dalam sejumlah aliran neo-Pencerahan. Secara filosofis, pemecahan masalah dilakukan memanfaatkan akal sehat. Kenapa menggunakan akal sehat?

Rene Descartes menjawab karena setiap orang memiliki akal sehat sehingga setiap orang bisa mengakses pertimbangan seseorang atau kelompok lain. Ketika akal sehat tak cukup, pemecahan masalah sosial bisa dilakukan melalui komunikasi yang dilandasi oleh kesetaraan dan kebebasan. Manakala komunikasi buntu, lembaga-lembaga peradilan merupakan jalan keluar rasional yang telah disepakati bersama. Namun, dalam praktiknya hal itu tak selalu mudah karena prosedur nalar dianggap bertele-tele dan tak membuahkan hasil yang memuaskan. Barulah Antonio Gramsci yang kemudian menunjukkan betapa kekuasaan akan selalu muncul di balik setiap upaya pemecahan masalah. Mekanisme nalar untuk memecahkan masalah akan terbentur pada praktik-praktik kekuasaan yang digenggam oleh para pelaku.

Jika dicerminkan dalam kasus di Lumajang, praktik kekuasaan telah mengalami disorientasi. Secara kronologis, tahun 2014 aparat kelurahan melakukan sosialisasi tentang rencana pembangunan pusat pemandian dan area wisata. Setelah pembebasan lahan, lokasi ternyata dijadikan lokasi penambangan pasir. Sejumlah warga menolak karena aparat kelurahan dinilai telah membohongi dan aktivitas penambangan juga telah merusak lingkungan. Akibat tindakan itu, sejumlah warga melakukan aksi mengemukakan pendapat melalui demonstrasi di area publik.

Sebelum kekerasan terjadi, proses pemecahan masalah melalui nalar telah dilakukan, tetapi tampaknya mengalami kebuntuan. Setelah pembantaian, polisi melakukan penjagaan di lokasi kejadian untuk mengantisipasi konflik susulan sebagai aksi balas dendam atas kejadian berdarah sebelumnya. Demikian pula kasus kekerasan di Papua, menunjukkan betapa solusi untuk pelintasan jalan seakan tidak ada sehingga pelaku memerlukan senjata untuk menyelesaikannya.

Media pembelajaran

Kita percaya, pemecahan masalah sosial mestinya didasarkan pada kuasa yang berpijak pada nilai-nilai bersama. Masalahnya, kekuasaan tidak diarahkan pada pengembangan nilai yang telah disepakati. Dalam wilayah praksis, masyarakat mengalami disorientasi. Ada tiga alasan mengapa kekerasan menjadi solusi persoalan sosial.

Pertama, skematisasi sosial yang didorong oleh pragmatisme dan ekonomisasi segala nilai. Masyarakat mengejar kekayaan dengan cara melakukan apa saja asal jadi uang. Kepentingan ekonomi memiliki ekses terhadap kepentingan politik, sosial, dan budaya. Bukti, konflik sosial yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia sebetulnya berawal dari upaya kelompok modal memperluas perusahaan untuk kepentingan ekonomi.

Kedua, kekerasan dianggap memiliki dimensi kognitif sosial. Dengan adanya masalah itu, warga memiliki legitimasi logis untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Penganiayaan terhadap orang lain yang terlibat konflik dianggap sebagai teknik yang efektif untuk mencapai kepentingan pribadi maupun golongan. Dimensi kognitif dari kekerasan itu nyata telah menjadi bagian dari proses pembelajaran. Itulah kenapa-dalam kasus-kasus pendidikan di Indonesia-kekerasan dijadikan sebagai "jalan keluar" bagi siswa-siswa yang menemui masalah.

Contoh, Nurul Fatimah (11), siswi Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kenaloi, menjadi korban penganiayaan oleh empat teman sekelasnya karena persoalan sepele di Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar, Sabtu (26/9/2015). Dia meninggal di Rumah Sakit Zainoel Abidin setelah dirawat selama seminggu akibat dianiaya dengan cara menjerat leher dan memukuli tubuh korban. Suka atau tidak, solusi melalui kekerasan telah masuk ke ruang kelas.

Ketiga, kekerasan memiliki dimensi komunikatif. Kekerasan dianggap sebagai pesan. Sebab, melalui kekerasan, pelaku mengirimkan pesan kepada orang lain tentang akibat-akibat yang terjadi jika mendapati masalah yang sama. Penganiayaan hingga mengakibatkan orang lain meninggal atau cedera sebetulnya terselip sebuah pesan, "Biar tahu rasa." Itu dianggap salah satu cara memberikan "pelajaran".

Jelaslah kekerasan menjadi kognisi masyarakat sekaligus sebagai pesan terhadap orang lain. Ketika kekerasan menjadi cara ucap baru dan legitimasi tindakan, tidak berlebihan jika masyarakat kini berada di ambang krisis. Inilah ironi yang dimaksud: nilai-nilai kebajikan lama sudah pudar, nilai-nilai baru yang didasarkan pada kebersamaan sebagai bangsa tidak memperoleh tempat yang memadai di tengah-tengah warga negara.

SAIFUR ROHMAN

Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Kebuntuan Akal Sehat".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger