Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 Oktober 2015

Dualitas Institusi Media (AGUS SUDIBYO)

"Di samping fungsi-fungsi informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi."

UU Nomor 40 Tahun 1999

Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers menyatakan bahwa status media sebagai suatu dualitas.

Di satu sisi, media adalah lembaga yang mengemban fungsi-fungsi sosial, tetapi di sisi lain media adalah lembaga ekonomi yang berorientasi komersial. Dualitas yang sama juga dinyatakan secara lebih rinci dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran.

Pertanyaannya kemudian, bisakah satu lembaga yang sama berwatak sosial sekaligus berwatak bisnis? Tentu saja banyak keraguan tentang hal ini. Di dunia nyata, orientasi sosial dan orientasi bisnis selalu terlihat bagaikan air dan minyak: saling menegasikan dan mengalahkan. Dualitas itu selalu berubah menjadi dualisme yang kontradiktif. Namun, justru di sinilah keunikan lembaga media. Media selalu jadi arena pergulatan seru antara tarikan ke arah pragmatisme ekonomis-politis di satu sisi dan tarikan ke arah idealisasi perwujudan ruang publik yang demokratis-deliberatif di sisi lain. 

 Dualitas status kelembagaan media itu menimbulkan konsekuensi serius.  Di satu sisi, pengelola media harus senantiasa menyadari bisnis media berbeda dengan bisnis yang lain. Prinsip maksimalisasi produksi dan konsumsi tak dapat diterapkan sepenuhnya pada bisnis media karena ada tanggung jawab sosial yang harus diwujudkan melalui informasi dan hiburan yang disajikan. Sikap instrumentalistik menggunakan media untuk mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan ekonomi dibatasi oleh norma dan aturan yang secara ketat mengharuskan media turut mencerdaskan dan memberadabkan masyarakat.

Dengan kata lain, media massa tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai properti pribadi. Selalu ada dimensi "kepemilikan" publik untuk setiap jenis media massa. Apalagi untuk media penyiaran yang beroperasi menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik. Suatu kekayaan publik yang menurut konstitusi harus "digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat".

Di sisi lain, masyarakat juga harus bersikap realistis dalam memandang fungsi media. Industri media umumnya industri padat modal. Oleh karena itu, wajar jika pengelolaannya berorientasi bisnis. Orientasi bisnis di sini bukan sesuatu yang buruk, tetapi suatu keniscayaan. Sudah pasti para pemodal berinvestasi di bidang media dengan kalkulasi bisnis tertentu. Meminta mereka mengabaikan kalkulasi bisnis ini adalah kemustahilan. Yang dapat dituntut adalah itikad baik mereka dan upaya terus-menerus untuk menyelaraskan orientasi bisnis dan orientasi sosial.

Siapa pun yang bekerja di dunia media akan selalu berada dalam tegangan antara dorongan untuk bertindak demi kepentingan diri yang bersifat partikular dan tuntutan untuk berbuat demi  kemaslahatan bersama. Para profesional dan pemilik media seharusnya tak mudah menyerah menghadapi kompleksitas yang muncul pada aras ini. Mereka dituntut senantiasa kreatif, panjang akal, dan terbuka terhadap kritik. Sebaliknya, masyarakat perlu terus-menerus memberikan masukan dan kritik tanpa terjebak pada sikap antipati serta tidak menutup mata terhadap sumbangan media bagi proses demokratisasi.

Dilema "rating"

Dalam konteks dualitas lembaga media ini pula diskusi tentang rating televisi yang menyeruak belakangan ini perlu diletakkan. Kita perlu mengkritisi bagaimana rating dilakukan dan mempersoalkan kecenderungan media televisi mendewakan rating. Namun, kita juga harus sadar, rating adalah keniscayaan lain dalam industri televisi.Rating atau share of audience adalah parameter kepemirsaan yang dibutuhkan stasiun televisi untuk mengevaluasi popularitas program televisi dan untuk bernegosiasi dengan pengiklan dalam urusan tarif iklan. Hampir tidak mungkin stasiun televisi bernegosiasi dengan pengiklan tanpa data kepemirsaan.

Yang perlu dikritisi di sini adalah, pertama, apakah penyelenggaraan risetrating dilakukan dengan metode penelitian yang benar? Apakah lembaga penyelenggara rating sungguh-sungguh profesional dan tidak main mata dengan stasiun televisi?  Kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas. Proses audit atas penyelenggaraan rating patut dipikirkan sebagaimana audit untuk penyelenggaraan survei opini publik, tentu dengan tetap menjaga "asas praduga tak bersalah".

Kedua, rating tidak mengukur kualitas program televisi. Rating hanya memprediksi jumlah penonton program televisi dibandingkan program lain, proporsi jumlah penonton suatu acara televisi dibandingkan keseluruhan penonton televisi. Oleh karena itu, tidak seharusnya rating jadi acuan pertama, apalagi satu-satunya, bagi proses produksi televisi. Jika ini yang terjadi, bisa dipastikan stasiun televisi hanya fokus menjalankan fungsi sebagai lembaga bisnis dengan mengabaikan fungsi sosial.

Perlu ditegaskan, apa yang ditonton banyak orang tidak selalu sama dengan apa yang dibutuhkan atau yang bermanfaat bagi kehidupan mereka. Porsi terbesar pemirsa televisi teresterial adalah kelas bawah. Mereka menonton televisi karena tidak memiliki alternatif yang lain. Mereka tidak memiliki daya beli mencukupi untuk beralih ke media hiburan dan informasi yang lain. Namun, apakah yang mereka tonton di televisi benar-benar bermanfaat dan bermakna bagi peningkatan kualitas hidup mereka? Persoalan ini tidak menjadi fokus perhatian dari penyelenggaraan rating.

Banyak ditonton pemirsa televisi satu hal, tetapi berkualitas dan bermakna bagi kehidupan pemirsa adalah hal lain yang tidak kalah penting. Oleh karena itu,rating tidak seharusnya menjadi satu-satunya referensi dalam proses produksi televisi. Dalam kerangka  dualitas media sebagai lembaga sosial dan lembaga ekonomi, dapat dirumuskan program acara televisi yang ideal adalah yang ber-rating tinggi, tetapi juga memenuhi standar acara yang ramah keluarga, aman bagi anak-anak dan remaja, memberikan model keteladanan sosial, serta mengarahkan perbincangan publik pada penyelesaian masalah-masalah bersama.

AGUS SUDIBYO

KETUA PROGRAM STUDI KOMUNIKASI MASSA AKADEMI TELEVISI INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Dualitas Institusi Media".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger