Mereka dijerat UU Perkebunan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Kehutanan dengan ancaman kurungan maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. Jumlah tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan diprediksi bertambah karena polisi masih memeriksa puluhan perusahaan yang diduga melakukan praktik pembakaran hutan dan lahan. Jika terbukti, izin konsesi perusahaan terancam dicabut dan dibekukan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan, indikasi areal kebakaran hutan dan lahan-hingga 9 September 2015-di Kalimantan dan Sumatera seluas 190.993 hektar. Luasan tersebut terdiri dari 103.953 hektar di lahan pemanfaatan, 29.437 hektar di lahan perkebunan dari pelepasan, dan 58.603 hektar di lahan bidang tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi, kerugian ekonomi akibat bencana kabut asap yang terjadi karena kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi di Indonesia pada 2015 bisa melebihi angka Rp 20 triliun. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, yang kemudian menimbulkan bencana kabut asap, bukan yang pertama kali. Dalam 20 tahun terakhir, bencana serupa hampir setiap tahun terjadi.
Warga negara Malaysia dan Singapura pun menyindir Indonesia dengan kabut asapnya melalui media sosial dengan tagar #terima kasih Indonesia. Malaysia dan Singapura adalah dua negara tetangga yang rutin mendapat kiriman kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan merupakan faktor yang disengaja. Citra satelit yang diambil NASA membuktikan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera sekarang merupakan kesengajaan karena areal hutan yang dilalap api memiliki pola. Motifnya jelas! Membakar hutan dan lahan dinilai sebagai cara paling mudah, murah dan cepat untuk membersihkan lahan (land clearing) meski dampak kerusakannya sangat dahsyat dan tak terperikan.
Data Kementerian LHK dan Polri menyebutkan, ada ratusan kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang kini sedang mereka tangani. Di Riau terdapat 37 kasus, Sumatera Selatan 16 kasus, Kalimantan Barat 11 kasus, dan Kalimantan Tengah 121 kasus.
Tak ternilai
Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, negara seolah tak berdaya menghentikan kejahatan korporasi yang-dengan kekuatan uang-berulang kali lolos dari jerat hukum. Otak pembakaran hutan dan lahan tak pernah tersentuh. Yang tertangkap dan divonis bersalah oleh pengadilan hanya pelaku "ecek-ecek" atau masyarakat biasa yang sering kali dijadikan "tumbal" korporasi.
Korporasi mampu membuktikan dirinya jauh lebih kuat-bahkan daripada negara sekalipun-untuk terus melanggengkan kejahatannya dan memegang kendali atas sumber daya hutan dan lahan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyebutkan, pada 2013 dari 117 perusahaan yang mereka laporkan sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan di Riau, hanya delapan perusahaan yang ditindaklanjuti dan satu yang divonis.
Kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan tak terhitung nilainya. Ratusan ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sebagian besar adalah anak-anak yang memang rentan terserang ISPA. Terbaru, bayi perempuan mungil berusia kurang dari satu tahun dari Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, meninggal karena ISPA yang disebabkan kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Hingga saat ini, bencana kabut asap telah merenggut tiga korban jiwa.
Selain merenggut korban jiwa dan menurunkan kesehatan masyarakat akibat ISPA, kebakaran hutan dan lahan juga membumihanguskan habitat satwa liar.
Habitat gajah di Taman Nasional Sembilang dan Suaka Marga Satwa Padang Sugihan di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hangus terbakar. Di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Tengah, karena habitatnya diselimuti kabut asap, seekor anak orangutan terjebak di areal perkebunan sawit yang terbakar karena kegiatan membersihkan lahan. Bayi orangutan lalu diselamatkan warga dan dibawa ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
Ke depan, karena berkurangnya habitat, intensitas konflik antara satwa liar dan manusia diprediksi kian meningkat. Data Institute Hijau Indonesia menyebutkan, 12 juta hektar kawasan hutan Indonesia sebagai rumah bagi jutaan keanekaragaman hayati telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Kebakaran hutan dan lahan yang membumihanguskan habitat satwa liar juga menyebabkan hilangnya zat hara, musnahnya jasad renik dan binatang tanah, rusaknya tekstur tanah, naiknya suhu global, berkurangnya keragaman hayati, dan rusaknya siklus hidrologi. Kerugian korban jiwa dan ekologi akibat kebakaran hutan dan lahan tentu tak ternilai dibandingkan kerugian di sektor ekonomi, pariwisata, dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan.
MARISON GUCIANO
Investigator Senior Yayasan Scorpion Indonesia; Direktur Eksekutif Indonesian Friends of The Animals; Juru Kampanye Sekretariat Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar