Gejolak yang terjadi saat ini disebut mengarah pada pecahnya intifadah ketiga. Interaksi kekerasan antara Palestina dan Israel ini harus disikapi lebih serius di tengah belum redupnya konflik di Suriah dan Irak utara.
Tiga faktor pendorong
Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong eskalasi tersebut. Pertama, adanya pergeseran dalam kebijakan Israel terhadap Palestina dalam dua dekade terakhir. Sejak tahun 2000, ketika perundingan Camp David II berakhir tanpa solusi, Israel enggan melanjutkan negosiasi damai. Apalagi pasca perundingan tersebut partai-partai pro perdamaian tidak lagi memenangi pemilu. Kalaupun ada perundingan pasca Camp David II, kehadiran Israel tak lain didasari pertimbangan "membahagiakan" AS, mediator utama dalam proses negosiasi Israel-Palestina.
Pasca Camp David II, Israel lebih memperhatikan stabilitas ekonomi domestik selain mempertahankan keran masuknya imigran dari berbagai wilayah, terutama dari Rusia dan negara-negara eks Uni Soviet. Kehadiran para imigran tersebut secara signifikan memengaruhi konstelasi politik di Israel. Berbeda dengan para imigran dari Eropa Barat, Amerika Latin, atau Etiopia, para imigran generasi terbaru tersebut lebih aktif dalam politik. Merekalah yang kemudian jadi pendukung utama kelompok-kelompok politik sayap kanan di Israel yang belakangan banyak bermunculan.
Salah satu masalah utama dengan para imigran generasi baru ini adalah penempatan mereka di wilayah-wilayah yang masuk dalam kategori contested, terutama di Tepi Barat. Para imigran ini menjadi ujung tombak dalam relasi dengan para pemukim Arab di Tepi Barat. Pemerintahan sayap kanan Israel pun secara sistematis juga mengembangkan kebijakan untuk mendukung kelompok imigran baru tersebut.
Selain memasukkan wilayah-wilayah pemukim ke dalam area pengembangan utama, serangkaian insentif ekonomi juga diberikan untuk membuat mereka merasa nyaman tinggal di wilayah-wilayah panas tersebut. Segmen kerja sebagian besar dari para imigran baru tersebut juga bersinggungan dengan para pemukim Palestina. Dengan kata lain, kehadiran para pemukim baru tersebut sebenarnya diproyeksikan untuk mengurangi kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor yang selama ini dipenuhi oleh pemukim Palestina.
Interaksi antara ketiadaan niatan untuk melanjutkan proses perundingan, masuknya imigran yang aktif dalam politik untuk mendukung kepastian kesejahteraan mereka, dan persinggungan dengan pemukim Palestina secara ekonomi tersebut memunculkan sikap anti Palestina yang cukup kuat di kalangan imigran baru. Letupan kekerasan akan dengan mudah untuk dipicu dan menghasilkan konflik terbuka di kalangan sipil.
Faktor kedua, terkait hilangnya arah kebijakan damai Palestina. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan berakhirnya proses Oslo dalam pidatonya di PBB. Abbas menegaskan, Palestina tak lagi terikat dengan butir-butir kesepakatan dalam Deklarasi Prinsip di Oslo tersebut. Pidato itu tidak saja menandai era baru perjuangan kemerdekaan Palestina (dari perlawanan militer ke perlawanan di meja perundingan menjadi perlawanan di ajang diplomasi multilateral), juga menandakan besarnya rasa frustrasi Palestina dalam bernegosiasi dengan Israel.
Dalam beberapa dekade terakhir, berkembang tiga opsi bagi perjuangan kemerdekaan Palestina. Opsi pertama, didorong oleh Hamas, Jihad Islam dan beberapa faksi di dalam PLO, adalah opsi perjuangan bersenjata. Opsi kedua adalah pilihan untuk melanjutkan proses negosiasi, baik dalam kerangka Oslo maupun dalam kerangka lain. Opsi ketiga adalah pilihan untuk menggunakan PBB dan organ-organnya. Publik Palestina pun terbelah dalam tiga opsi ini. Pergeseran opsi yang diambil Abbas tentu terkait dengan meningkatnya rasa frustrasi publik atas kondisi yang tidak menentu selama beberapa dekade proses Oslo berjalan.
Pergeseran opsi yang diambil Palestina ini juga masih dibayangi ketidakpastian masa depan perjuangan mereka di PBB. Secara realistis, Palestina akan bisa mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional untuk masuk ke dalam berbagai organ PBB. Namun, tidak demikian halnya dengan dukungan dari Dewan Keamanan. Realitas politik ini yang harus dihadapi Palestina dalam menggunakan opsi ini. Ketidakpastian masa depan, ditambah tekanan dalam kehidupan keseharian yang dialami oleh publik Palestina, akan dengan mudah memunculkan pecahnya bentrokan.
Faktor terakhir, ketakpastian konflik di beberapa wilayah di Timur Tengah juga berkontribusi pada tensi kekerasan di Tepi Barat. Sejak awal tahun lalu, otoritas intelijen Israel secara terbuka mulai menyampaikan adanya keterikatan antara kelompok-kelompok di Palestina dan beberapa organisasi yang dikategorikan sebagai kelompok teror, termasuk Al Qaeda. Rilis tersebut bisa jadi didasari oleh pertimbangan politik, mengingat sudah menjadi tabiat Israel untuk meletakkan tekanan pada ketidakmampuan Otoritas Palestina dalam "menjaga keamanan" sebagai alasan Israel melakukan "tindakan yang diperlukan".
Kekerasan yang saat ini pecah di Tepi Barat, dengan demikian, harus dilihat secara cermat apakah merupakan bentuk spontanitas yang didorong oleh rasa frustrasi ataupun terstruktur. Hingga saat ini, kelompok-kelompok utama Palestina belum menyatakan sikap atau mengklaim bertanggung jawab.
Dua titik perhatian
Terlepas dari hal tersebut, masyarakat internasional perlu memberikan perhatian, terutama terkait dengan dua hal. Pertama, kebutuhan untuk menyediakan skema perdamaian yang baru. Selain Deklarasi Prinsip, dalam perjalanan waktu ada beberapa opsi skema perdamaian yang pernah muncul. Skema baru bagi proses perdamaian dibutuhkan untuk menjaga agar kelompok-kelompok pendukung kekerasan di kedua kubu tidak memiliki justifikasi politik bagi aksi-aksi mereka.
Dengan berakhirnya proses Oslo, komitmen bagi pembagian wilayah juga luruh. Artinya, tidak ada lagi batasan yang jelas mengenai "garis hijau" ataupun "garis biru". Ketiadaan skema baru proses perdamaian harus segera diisi agar tidak ada perubahan yang signifikan dalam situasi "resmi" di lapangan. Ketidakjelasan kondisi saat ini membuka peluang bagi para pendukung opsi militeristik di kedua pihak.
Kedua, tekanan untuk menghentikan proses perluasan permukiman Yahudi, meskipun Israel mengklaimnya sebagai perluasan alami. Israel secara terang-terangan telah melakukan upaya untuk memaksimalkan keuntungan tersebut dengan kebijakan permukiman Yahudi yang dijalankannya. Penghentian perluasan di wilayah-wilayah yang disengketakan harus dilakukan. Tekanan internasional terhadap para kontributor dana menjadi isu yang krusial.
Kedua langkah tersebut, dalam kondisi saat ini, akan sulit tanpa ada intervensi masyarakat internasional. Selain menyerukan penghentian kekerasan dalam berbagai kegiatan demonstrasi, kita juga harus menyerukan skema perdamaian yang baru sesegera mungkin.
BROTO WARDOYO
PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar