Tidak hanya itu, terdapat 12 warga meninggal dan kerugian materi ditaksir sekitar Rp 20 triliun. Narasi akan lebih dramatis jika pada angka di atas ditambahkan data berikut: asap juga melumpuhkan aktivitas penerbangan selama hampir dua bulan, mematisurikan perekonomian rakyat, dan menghentikan aktivitas pendidikan.
Kisah tentang penderitaan pasangan keluarga Ilhami dan Linda di Palangkaraya dalam harian ini kemarin juga menggugah kita. Sang anak, Muhammad Rafa Rafsyanjani, baru berumur 3 bulan, divonis menderita radang paru-paru. Pada rongga dadanya tampak cekungan dalam, sedalam batuk yang ia keluarkan.
Luas dan masif skala kerusakan kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Kita juga mendengar kebakaran terjadi di sejumlah wilayah lain Indonesia, seperti di Gunung Lawu, Timika, dan Ternate. Indonesia seolah tengah terbakar.
Setidaknya sejak tahun 1997, meski ada catatan tentang kebakaran hutan sebelum itu, Indonesia tampak berada di atas panggung internasional, sekurang-kurangnya regional, secara amat memalukan. Juragan kelapa sawit, yang berusaha memperluas areal usahanya, telah melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.
Sebegitu jahatnya aktivitas itu sehingga kita merasakan azab seperti dirasakan saudara kita di Riau, Jambi, Sumsel, Kalsel, dan Kalteng. Memang tahun ini El Nino yang menghasilkan kekeringan panjang memperparah keadaan. Namun, pelaku pembakaran, dan pihak yang mengizinkan hal itu terjadi, sulit dimaafkan. Denda triliunan rupiah pun terlalu ringan dibandingkan dampak yang diakibatkan.
Kita harus jujur pada diri sendiri, bahwa kemarin kita lalai dalam memberikan perizinan sehingga kapital dan kerakusan meruyak leluasa. Jika pemerintah tegas dan membela kepentingan rakyat, sejak awal, pelaku pembakaran hutan pasti telah ditindak tegas.
Nyatanya itu tak terjadi. Pemerintah demi pemerintah memaafkan dan menoleransi perilaku buruk sehingga bencana asap terus berulang setiap tahun. Indonesia yang tak pernah mau belajar rela diolok-olok bangsa lain hanya demi keuntungan segelintir perusahaan.
Indonesia seakan tak mendapat apa-apa dari kehadiran perusahaan kelapa sawit, kecuali bencana dan wajah coreng-moreng hitam akibat asap. Selain korban manusia, kita belum membahas flora dan fauna yang mengisi biodiversitas di hutan yang terbakar.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Sungguh, Ini Tragedi Nyata".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar