Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 Oktober 2015

Membangun Afiliasi Luhur (AGUS MUHAMMADy

Berbagai fenomena konflik bernuansa agama yang terjadi di Tanah Air menunjukkan bahwa praktik toleransi ternyata masih menyimpan masalah serius.

Toleransi hanya berupa kerukunan beragama. Yang penting rukun, tidak berantem. Mengenal dan memahami keunikan setiap kelompok agama dianggap tidak penting. Praktik toleransi seperti ini tentu saja terlalu rapuh untuk menopang bangsa yang begitu majemuk seperti Indonesia.

Ketunggalan makin sulit

Di sinilah pentingnya transformasi wacana toleransi. Ketunggalan suatu negara dalam unsur ras, suku, dan agama semakin sulit ditemui. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain, dari satu kota ke kota lain-baik karena alasan profesional maupun personal-menunjukkan kecenderungan meningkat.

Kenyataan tersebut menjadi semakin kompleks karena arus informasi yang begitu cepat, terutama di dunia maya, melahirkan nilai-nilai baru, budaya baru, cara pandang baru, bahkan ideologi baru, yang bisa jadi sangat berbeda dengan identitas lama yang dianggap sakral.

Semua ini menyadarkan kita bahwa keragaman menjadi realitas yang betul-betul hadir di depan mata. Kita tidak bisa lagi menghindari keragaman. Ke mana pun kita berpaling, di situ kita akan berhadapan dengan keragaman: budaya, etnis, agama.

Jika keragaman tidak dikelola dengan bijak, dia tidak lagi menjadi rahmat. Kita boleh tidak setuju dengan tesis Huntington soal perang peradaban (clash of civilization). Namun, jika kita tidak serius menangani masalah keragaman di tengah gegap gempita pertemuan berbagai budaya dalam peradaban global, tesis itu akan terus jadi ancaman.

Identitas pembeda

Dalam konteks ini, kita perlu memikirkan secara serius masalah agama yang sering dijadikan sebagai satu-satunya identitas pembeda. Dalam soal identitas etnis, seseorang bisa saja separuh Tionghoa dan sekaligus separuh Jawa. Namun, dalam soal agama, seseorang tidak bisa memiliki identitas separuh Islam atau separuh Buddha, misalnya.

Itu sebabnya, Huston Smith (1958) mengajak kita semua untuk memandang agama-agama secara sungguh-sungguh melalui dua hal. Pertama, kita harus memandang para pengikutnya sebagai laki-laki atau perempuan yang juga menghadapi masalah seperti kita sendiri. Kata kuncinya adalah bahwa tidak bisa lagi agama dianggap lebih superior dibandingkan yang lain karena bisa memicu konflik terbuka.

Kedua, kita harus menyingkirkan dari pikiran kita semua prasangka yang membuat pikiran kita tidak peka atau tidak siap terhadap perubahan yang begitu cepat. Jika kita bisa mengesampingkan pikiran kita mengenai hal ini, tabir yang memisahkan kita dengan mereka- kalaupun tidak bisa disingkirkan semua-dapat dikurangi menjadi kabut tipis belaka.

Dengan nada yang berbeda, Hasan Askari (1991) melihat fenomena keragaman agama-agama dalam perspektif yang agak perenialis. Askari melihat setiap agama memiliki keunikan, tetapi semua memiliki pesan universal: berbeda, tetapi satu tujuan.

Karena itu, menurut Askari, penegasan multiagama harus menjadi pemelihara keragaman yang mengizinkannya menjadi muatan kesadaran keagamaan yang menakjubkan. Ketakjuban bahwa ada berjuta orang yang memiliki agama berbeda dan memahami tanpa rasa takut bahwa Tuhan mengekspresikan diri dengan banyak cara, yang diketahui ataupun yang tidak diketahui.

Ketakjuban bahwa ada berjuta-juta orang Hindu dan Buddha yang tidak sejalan dengan gagasan-gagasan dan praktik orang Yahudi, Kristen, dan Islam ini merupakan peringatan bagi kita semua bahwa Tuhan menyediakan bagi Diri-Nya kekuasaan untuk menjadi sepenuhnya berbeda dari apa yang kita ketahui.

Paul F Knitter (1995) menginspirasi kita mengenai keragaman yang menyejukkan. Menurut dia, jika kepelbagaian yang nyata di antara agama-agama itu dikelola dengan baik, dia akan menyatu dalam lautan kesamaan yang tenang: perbedaan tidak terlalu menjadi masalah karena merupakan refleksi kultural yang beragam dari satu esensi yang sama yang bersinar seperti intan yang tersembunyi di dalam hati setiap agama.

Namun, Knitter segera mengingatkan kita untuk berhati-hati agar tidak terjebak pada apa yang sering disebut "relativisme agama". Begitu terjebak pada upaya relativisme agama, kebenaran absolut yang terkandung dalam agama-agama akan sedikit tergugat. Pemahaman ini dapat mengundang kemarahan para penganut agama masing-masing karena mereka meyakini betul kebenaran absolut yang terdapat dalam agama mereka.

Milad Hanna (2005) memberi catatan penting tentang kebenaran absolut agama yang bisa menjadi potensi konflik. Menurut pemikir dari Mesir itu, setiap pemeluk agama atau pengikut aliran akan memiliki pemahaman dan penafsiran tersendiri terhadap teks-teks suci mereka.

Pemahaman itu tidak jarang ikut melahirkan perasaan paling benar dan istimewa. Ketika perasaan itu semakin menumpuk dan mengkristal, sentimen kolektif suatu agama dapat melahirkan fanatisme dan semangat kebencian. Terkadang sentimen kolektif berkembang begitu cepat lewat jalan kekerasan sehingga berujung peperangan.

Sulit diatasi

Harus diakui, konflik agama jauh lebih sulit diatasi ketimbang konflik-konflik nasionalisme ataupun etnis. Konflik-konflik non-agama bisa mencair dengan meningkatnya pendidikan, kemakmuran masyarakat, kecanggihan teknologi, dan kesejahteraan umum. Namun, konflik agama belum tentu bisa dilerai oleh semua itu. Maka, titik tolak yang perlu ditegaskan dalam konteks ini adalah urgensi bertemu dengan yang lain.

Pertemuan itu diharapkan berlanjut ke usaha dialog. Dialog akan melahirkan pemahaman dan pengertian. Dengan itu, sentimen kolektif akan sampai pada usaha penerimaan terhadap kelompok lain. Sentimen itu diharapkan bisa berlanjut pada kesepakatan dan kerja sama untuk membentuk afiliasi yang lebih luhur.

AGUS MUHAMMAD

Direktur Moderate Muslim Society

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Membangun Afiliasi Luhur".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger