Pemerintah menargetkan, Undang-Undang Pengampunan Nasional sebagai payung hukum pengampunan pajak harus selesai tahun 2015.
Pengampunan pajak bersifat lebih luas dibandingkan kebijakan penghapusan sanksi pajak 2008. Kebijakan penghapusan sanksi pajak 2008 hanya mencakup Pajak Penghasilan (PPh), sedangkan pengampunan pajak saat ini akan mencakup Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM).
Semangat di balik pengampunan pajak adalah pembinaan kepada wajib pajak agar ke depan membayar pajak lebih transparan. Ada dua keuntungan yang bisa dipetik pemerintah dari aktivitas pengampunan pajak ini.
Pertama, mengembalikan uang yang diparkir di luar negeri, diperkirakan berjumlah Rp 3.000 triliun, ke dalam negeri. Jika program pengampunan pajak ini berhasil menarik dana itu 50 persen saja, maka akan kembali Rp 1.500 triliun. Uang sebanyak itu tentu akan membantu menggerakkan roda perekonomian di dalam negeri.
Kedua, jika program pengampunan pajak berjalan efektif, maka diprediksi rasio pajak akan meningkat dari 11 persen ke 13 persen atau 14 persen. Dampaknya adalah peningkatan cadangan devisa dan pembangunan dapat berlangsung masif.
Namun, pemerintah menegaskan dalam program pengampunan pajak pemerintah tidak akan menerima uang hasil narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia. Selain itu, pengampunan pajak juga tidak berlaku untuk koruptor yang kasusnya sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Harapan positif
Jika kita menelisik RUU Pengampunan Nasional, di dalamnya ada yang memberi harapan positif, namun ada pula yang tidak menarik bagi wajib pajak yang akan menjadi subyek program pengampunan pajak ini.
Harapan positifnya adalah negara akan menghapus utang pokok berikut sanksi administrasi yang terutang selama ini dan wajib pajak hanya diharuskan membayar dengan tarif 3 persen jika wajib pajak mengikuti program ini sepanjang Oktober-Desember 2015, tarif 5 persen jika wajib pajak mengikuti program ini pada Januari 2016-Juni 2016, sedangkan bagi wajib pajak yang mengikuti program ini pada Juli 2016-Desember 2016 akan mendapatkan tarif 8 persen.
Tarif akan dikalikan dengan dasar pengenaan pajak (harta yang akan dilaporkan dalam surat permohonan pengampunan). Hal ini diatur dalam RUU Pengampunan Nasional Pasal 4 (tarif) dan Pasal 5 (untuk dasar pengenaan pajak).
Menarik
Tarif pengampunan pajak saat ini menarik karena tarif PPh Badan 25 persen flat, sedangkan PPh Orang Pribadi yang berlaku progresif dari 5 persen-30 persen. Jadi, tarif pengampunan pajak secara umum lebih kecil dari tarif biasanya.
Adapun hal yang tidak menarik bagi wajib pajak adalah tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf e pada draf RUU Pengampunan Nasional. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa jika ingin mengikuti program pengampunan pajak, wajib pajak diminta untuk memberikan surat kuasa kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk membuka akses atas seluruh rekening wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang berada di bank dalam dan luar negeri, hal ini berlaku untuk transaksi setelah memperoleh Pengampunan Nasional. Kondisi ini akan menjadikan wajib pajak tidak nyaman secara psikologis karena harus membuka akses banknya.
Ubah pendekatan
Dalam kebijakan penghapusan sanksi pajak 2008 antusiasme masyarakat cukup besar dalam mengikutinya karena pada saat itu payung hukumnya melindungi wajib pajak tidak akan diperiksa dan tak ada surat kuasa oleh wajib pajak untuk mengakses rekening bank wajib pajak. Seharusnya pengampunan pajak kali ini melakukan pendekatan seperti itu. Berangkat dari alasan tersebut, seyogianya draf RUU Pengampunan Nasional dikaji ulang agar program dapat berjalan sukses.
Semoga program pengampunan pajak ini berjalan mulus sesuai harapan dan dapat menstimulasi perekonomian secara makro juga menambah investasi dari dana yang diparkir di luar negeri. Hal ini sesuai paket kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo yang selalu menginginkan investasi berjalan di Tanah Air.
IRWAN WISANGGENI
Dosen Trisakti School of Management
Tidak ada komentar:
Posting Komentar