Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 05 Oktober 2015

Menatap Tantangan TNI (SJAFRIE SJAMSOEDDIN)

Berbeda dengan negara lain, Indonesia membangun angkatan perang sambil bertempur dan berperang merebut kemerdekaan. Itulah ciri Tentara Nasional Indonesia yang akan memasuki usia ke-70.

Sejarah perjalanan TNI memang tidak sempurna. TNI pernah memiliki kekurangan dari sisi kepemimpinan dan manajemen akibat kepentingan pemerintah pada masa itu. Namun, komitmen dan tanggung jawab TNI terhadap negara tidak pernah surut karena nilai dan semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit menjiwai dan terpatri dalam diri setiap prajurit TNI.

Fakta dan konsekuensi sejarah menempatkan TNI sebagai bagian kekuasaan yang nyaris paripurna di era pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, pasca-Orde Baru, TNI mengalami degradasi legitimasi dan kepercayaan rakyat. Pada awal reformasi, TNI pernah berada pada posisi terendah akibat kekecewaan rakyat. Padahal, rakyatlah yang sebenarnya menjadi pemilik TNI.

Menyadari kelengahan dan pengalaman pahit itu, TNI bertekad bangkit dan mengubah sikap dengan menjalani reformasi internal. TNI berkomitmen secara proporsional dan profesional memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional. Kini legalitas dan legitimasi TNI bertumpu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur misi yang harus dilaksanakan TNI. Tugas yang harus dilaksanakan TNI ditetapkan berdasarkan proses politik antara pemerintah dan parlemen, tidak sekadar adanya perintah dari atasan.

Keberadaan TNI dalam perspektif sistem politik nasional merupakan bagian yang sejajar dengan komponen bangsa lain, di mana TNI berfungsi sebagai alat pertahanan negara. Sementara dalam perspektif militer profesional melekat fungsi militer untuk membangun dan mengembangkan manajemen TNI yang kredibel dan kapabel

Filosofi dan prinsip Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta yang diemban TNI hendaknya dipahami dinamis tak hanya pada negara dalam keadaan perang, tetapi juga efektif di masa damai. TNI memiliki juga kewajiban mendukung pembangunan dengan aplikasi manajemen pembinaan teritorial.

Insurjensi dan terorisme

Tantangan yang dihadapi TNI ke depan mengantisipasi pola rongrongan insurjensi terhadap negara. Tidak ada jaminan negara kita bebas dari rongrongan insurjensi, bahkan tak ada jaminan negara mampu menghapuskan insurjensi sampai orang terakhir, apalagi tipologi perang ke depan cenderung asimetris, dengan insurjensi sebagai fondasi dan teror sebagai modus operandi.

Kita perlu mencermati perubahan "strategi adaptasi" sebagai pola insurjensi baru yang memanfaatkan fenomena gesekan politik dan turbulensi, ekonomi, mengakibatkan efek negatif bagi stabilitas dimensional. Apalagi bagi negara kita yang sedang bekerja keras membangun.

Sebagai alat pertahanan negara, TNI perlu merekonstruksi pola lawan insurjensi yang tidak hanya menerapkan taktik dan teknik militer murni, tetapi perlu revitalisasi yang terintegrasi antara kekuatan militer dan nonmiliter. Saatnya negara memiliki kontinjensi nasional menghadapi insurjensi nonmiliter yang tidak dapat ditanggulangi dengan kekuatan militer murni. Kita harus mewaspadai jebakan insurjensi yang menggunakan pancingan pada area taktis, tetapi berakibat negatif pada area politis.

Pada sisi lain, realitas menunjukkan, di era demokrasi yang penuh keterbukaan ini ada modus operandi terorisme yang eksis dan eskalatif. Bukan tidak mungkin gerakan itu menyentuh sendi kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Kita akui bersama terorisme sebagai modus tindakan kekerasan identik dengan kriminal yang wajib diperangi, tentunya dengan tatanan yang jelas dan tegas pada parameter eskalasi mana yang menjadi tugas TNI dan mana yang menjadi tugas Polri.

Para pendahulu kita sangat cermat dan piawai untuk tak menyebut asal-usul suatu gerakan insurjensi karena sensitif terhadap isu komunal di negara kita yang plural. Tidak bisa disangkal, wilayah nasional bergeser dari terminal transit menjadi basis wilayah terorisme internasional. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menaruh harapan agar TNI mampu merevitalisasi manajemen pembinaan teritorial TNI sebagai bagian dari manajemen pembinaan teritorial pemerintah.

Pembangunan militer

Tantangan kedua yang dihadapi TNI adalah pembangunan kekuatan militer. Akibat embargo dan krisis ekonomi, TNI pernah berada pada posisi terendah dalam peralatan militer, bahkan TNI nyaris tak mampu melaksanakan operasi kemanusiaan di Aceh pada 2004. Syukurlah rakyat dan pemerintah memberi perhatian besar dengan secara bertahap memodernisasi peralatan militer selama 10 tahun terakhir.

Pada posisi sekarang, bangsa boleh bangga kepada TNI yang mampu dan kredibel untuk melaksanakan berbagai tugas, termasuk pada taraf regional. Apalagi itu didukung oleh kebangkitan industri pertahanan sebagai penopang modernisasi dan kebutuhan peralatan militer.

Walaupun kedaulatan negara disebut "intangible value", keterbatasan kemampuan negara membuat pemerintah belum mampu memberikan anggaran di atas 1 persen dari produk domestik bruto untuk pembangunan kekuatan militer. Dari anggaran pertahanan yang disediakan pun, 42 persen habis untuk belanja pegawai. Namun, TNI memahami saat ini masalah kesejahteraan rakyat perlu lebih diutamakan.

Membangun profesionalitas perlu biaya besar, apalagi membangun kekuatan pokok minimal yang capaiannya belum 50 persen dari target Rencana Strategis 2024. Oleh karena itu diperlukan penguatan interaksi antara teknokrat dan TNI untuk mengisi gap kebutuhan profesi non-tempur. Di sinilah dibangun kerelaan prajurit mengelola kemampuan vokasional terampil berinteraksi dengan lingkungan masyarakat yang heterogen. Interaksi ini jangan dibaca sebagai agenda kepentingan prajurit, tetapi semata untuk mengembangkan nilai keterampilan non-tempur tanpa harus didukung biaya negara.

Keamanan nasional

Tantangan ketiga yang harus bisa dijawab adalah bagaimana TNI menerjemahkan aspek keamanan nasional ke depan. Di era demokrasi, sistem keamanan nasional tidak boleh kendur, bahkan perlu dikelola proaktif dan terukur agar stabilitas nasional bisa menopang derap langkah pembangunan.

Ironinya, dewasa ini kita tidak memiliki sistem keamanan nasional yang efektif memberikan arahan strategis menghadapi dinamika permasalahan stabilitas nasional yang multidimensional. Pegangan kita saat ini apabila ada rongrongan stabilitas adalah UU Nomor 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya dengan berbagai regulasi turunannya, bahkan pernah menjadi rujukan Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban dan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional. Bangsa kita perlu bijak menyikapi makna perlunya suatu sistem keamanan nasional di era demokrasi.

Kita selalu terjebak kecurigaan TNI ingin kembali ke panggung kekuasaan ketika berbicara tentang keamanan nasional. Padahal, TNI sudah "taat, nyaman, dan aman" di bawah UU TNI yang berlaku sekarang. Marilah kita berpikir terintegrasi antarsesama warga bangsa untuk membangun collective response to protect the country, baik masa damai maupun keadaan darurat.

SJAFRIE SJAMSOEDDIN

Pusat Pengkajian Strategi Nasional

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Menatap Tantangan TNI".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger