Kargo LNG yang dikirim ke Korea pada Oktober 2014 merupakan kargo terakhir dari pabrik LNG Arun yang telah beroperasi hampir empat dekade sejak 1978. Aset berupa tangki-tangki LNG dan LPG, pipa-pipa, gudang, workshop, pembangkit listrik, perumahan, rumah sakit, sarana olahraga, kantor, mes, lapangan terbang, termasuk sumber daya manusianya, menjadi aset yang kembali berharga setelah sempat menjadi isu kesuraman masa depan kota Lhokseumawe.
Tetap dibukanya pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan pabrik kertas di sekitar lokasi bekas pabrik LNG Arun serta terjaminnya suplai gas kota di Lhokseumawe dan sekitarnya menjadi arti penting bagi para pekerjanya dan harapan baru bagi masyarakat dan pemerintah daerah di kota kecil di wilayah Aceh timur itu.
Proyek ini terintegrasi dengan pembangunan pipa gas yang dibangun Pertamina yang membentang dari Arun ke PLN Belawan (Medan) sepanjang 350 kilometer, yang tercatat sebagai proyek infrastruktur gas dengan kerumitan dan kompleksitas permasalahan sosial yang dapat diselesaikan dengan cepat dan tanpa kecelakaan. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen, kemudian dilanjutkan dengan menyambung pipa gas dari Belawan ke Kawasan Industri Medan (KIM) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Mata rantai bisnis LNG
Dua proyek besar infrastruktur gas ini, regasifikasi LNG dan pipanisasi gas, telah berhasil menepis keraguan atas sulitnya pembebasan lahan dan lambannya proses perizinan serta faktor nonteknikal lain. Semua pekerjaan rekayasa, pengadaan, hingga konstruksi dilakukan oleh tenaga Indonesia sendiri.
Sampai saat ini telah diproses sekurang-kurangnya tujuh kapal kargo LNG dari lapangan Tangguh dan satu kargo dari Donggi-Senoro LNG (DSLNG) untuk dikirim ke PLN Belawan dan KIM serta KEK dengan laju pengiriman gas yang terus meningkat. Inilah salah satu wujud sinergi BUMN, yakni Pertamina-PLN-KIM-KEK, yang menghasilkan manfaat bukan saja bagi BUMN itu sendiri, melainkan juga masyarakat Aceh dan Sumatera Utara serta Papua (LNG Tangguh) dan Sulawesi (DSLNG).
Secara nasional, proyek ini telah mengikat-eratkan persatuan dan kesatuan wilayah negara kepulauan ini. Mendekatkan antara sumber gas dan para pemakainya. Memanfaatkan sumber daya alam untuk konsumsi energi di dalam negeri.
Tidak hanya sampai di situ, proyek ini sedang dilanjutkan dengan Proyek Fase 2 yang tidak kalah menarik, yakni membangun pembangkit tenaga listrik, sebagai peaker (pemikul beban puncak) yang dikerjakan PLN di dekat lokasi unit regasifikasi. Proyek ini diperkirakan selesai tahun ini. Suplai listrik yang nantinya dimanfaatkan pada saat beban puncak ini akan menerangi kota Lhokseumawe dan daerah-daerah di Provinsi Aceh serta Sumatera Utara karena sebagian dari mereka sudah terhubung dengan jaringan PLN yang sudah ada.
Selain itu, di tahun-tahun mendatang telah disiapkan pula proyek berikutnya, yakni pembangunan filling station (pusat pengisian) LNG ke truk-truk pengangkut tangki LNG (isotank) yang akan mendistribusikannya ke konsumen industri, pembangkit listrik, ataupun moda transportasi yang memerlukannya.
Hal ini terutama untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan akan gas sebagai bahan bakar ataupun bahan baku industri dan transportasi di tempat yang tersebar. Skema ini sepertinya akan lebih efisien dibandingkan membangun jaringan pipa gas yang sering terkendala pembebasan lahan, perizinan, dan tata waktu pembangunannya.
Di samping truk LNG yang akan mengangkut gas dalam bentuk cair ke konsumen, alternatif lain adalah membangun filling station di pelabuhan untuk mengakomodasi kapal-kapal kecil (small scale vessels) yang akan mendistribusikan LNG ke pulau terpencil di masa mendatang. Tangki-tangki LNG dan LPG yang sudah tidak lagi terpakai secara optimal juga akan digunakan sebagai LNG/LPG Hub untuk menyimpan LNG/LPG sementara sebelum didistribusikan ke konsumen. Jika sudah demikian, lengkaplah mata rantai bisnis LNG untuk memenuhi kebutuhan domestik dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Stasiun regasifikasi
LNG merupakan gas alam yang dicairkan dengan kondisi tekanan dan suhu yang sangat ekstrem, yang menjadikan volume gas menyusut hingga seperenam ratus satuan volume. Dengan demikian dapat dengan mudah, efektif, dan efisien untuk ditransportasikan pada jarak yang jauh. Tak seperti CNG (compressed natural gas) yang masih memerlukan volume yang besar, karena masih berwujud gas, LNG sangat praktis untuk dibawa dengan angkutan darat ataupun laut sehingga cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia.
Hal yang perlu segera dibangun adalah infrastruktur berupa stasiun regasifikasi dalam skala kecil (mini regasification units) sebagai terminal penerima LNG jika yang akan digunakan adalah dalam bentuk gas, baik berupa unit yang terapung maupun yang dibangun di atas tanah (floating atau onland storage and regasification units). Namun, jika kita tetap ingin menjadikan LNG sebagai bahan bakar atau bahan baku, kita perlu membangun tangki penampung dan/atau dispenser LNG untuk mengisikannya langsung ke truk-truk besar di area tambang atau smelters.
Jika infrastruktur dan manufaktur serta moda transportasi yang berbasis LNG dapat dibangun, impor BBM dan minyak mentah untuk keperluan kilang BBM dapat dikurangi. Dengan langkah ini, kita dapat menggunakan minyak mentah, yang semula untuk bahan baku BBM, untuk pabrik-pabrik petrokimia lain yang memiliki rantai bisnis lebih panjang dan menyerap tenaga kerja tak sedikit.
Dari sektor hulu migas, penemuan lapangan gas yang akhir-akhir ini lebih dominan juga dapat menggunakan teknologi pencairan gas dengan kapasitas yang kecil dan dapat dengan mudah dipindah-pindahkan (skid mounted mini LNG plant) untuk dimanfaatkan di lapangan-lapangan gas yang kecil dan tersebar. Kajian teknikal dan komersial dapat dilakukan dengan lebih terintegrasi.
Demikianlah peran LNG di masa depan, sebagai sumber energi bersih yang semakin kompetitif harganya untuk kebutuhan pembangkit tenaga listrik, industri, ataupun transportasi. LNG menjadi alternatif energi yang harus dijadikan prioritas sebagai jembatan peralihan dari era minyak ke era gas dan energi terbarukan. Era minyak murah sekarang sudah pasti akan berakhir dan era gas akan menggantikannya karena cadangan gas dunia lebih besar dari cadangan minyak. Demikian juga dengan cadangan gas Indonesia.
Kita tidak perlu membangun pipa gas antarpulau jika memang sumber gas dan produksi kita juga sudah sangat menurun dan ada batasnya. Dalam 10-20 tahun ke depan, "banjir LNG" dari negara-negara baru penghasil LNG, seperti Qatar, Norwegia, Angola, Mozambik, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, akan mengubah peta bisnis LNG dunia dan ini harus kita antisipasi.
Lebih baik kita fokus pada kajian kelayakan penggunaan LNG untuk industri serta transportasi darat dan laut atau untuk bahan bakar IPP (independent power plant) di daerah terpencil. Jadikan LNG sebagai energi pemersatu bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.
SALIS S APRILIAN
Presiden Direktur dan CEO PT Badak NGL
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Mengapa Harus LNG".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar