Gibran patriot sejati yang sepenuh hati memperjuangkan kemerdekaan negerinya dari penjajahan asing dan kebengisan hukum feodal bangsanya sendiri atas rakyat jelata. Bersama para sastrawan Arab yang bermukim di Boston dan New York, AS, dia menerbitkan puisi dan esai yang memicu revolusi sastra Arab dan menyuarakan sikap politiknya dari AS. Ia juga menggalang dana guna menyokong rakyat yang tertindas di tanah airnya. Sebagai warga diaspora, pelukis-penyair mistik ini seumur hidupnya merindukan reruntuk Biara Mar Sarkis di Wadi Qadisha, Lembah Suci, di desa kelahiran di kaki Gunung Cedar.
Lalu, kenapa dia menolak hadir dalam forum penting itu? Alasannya lugas: para penanggung ongkos perjalanannya ke Paris menitipkan opini politik yang tak dia setujui. Di ajang perang opini, pemimpin seniman-intelektual Suriah di AS ini menolak dijadikan kuda troya.
Bencana sektarianisme
Gibran telah merevolusi sastra Arab yang stagnan hingga menyentuh awal abad ke-20 itu. Isi bertaklid-mengabdi-kepada bentuk sehingga yang mewujud dalam puisi kehampaan semata. Penyair yang sadar hanya bisa menghela napas: merasa sia-sia.
Selain menyumbang entitas unik sastra Inggris dan Amerika, dengan gairah "api biru" ia menuangkan isi segar ke cawan baru sastra Arab dengan napas dan suara kritis aktual. Tak pelak lagi, sendi-sendi kehidupan individual, sosial, politik, dan penguasa feodal di negerinya menderita tikaman belati kritik radikal, terutama otoritas politik dan agama korup yang hidup mewah di atas derita umat dan awam.
Lantaran puisi dan esai-esainya itulah Gibran dihujat di negerinya. Di depan Golden Circle, pada 1911, ia menyatakan bahwa hanya revolusi jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang berdaulat. Ia menyebut sikap teman-teman seperjuangan sesama orang Suriah yang memilih "keamanan" dan "kesabaran" sebagai "racun ketimuran".
Ia setia mengingatkan bangsanya akan bahaya sektarianisme yang telah memicu pembantaian besar-besaran di tanah kelahiran. Pada 1910, di London, Gibran dan sahabatnya, Amin Rihani, membuat sketsa gedung opera di Beirut dengan dua kubah pelambang rekonsiliasi Islam dan Kristen. Dia juga menolak kebijakan intervensi Barat yang berpotensi mendorong perpecahan bangsa dan tanah air. Ramalannya terbukti. Dia meminta bangsa Arab yang tertindas tidak minta bantuan negara-negara Eropa.
Dalam pandangannya, para penguasa Eropa dengan sinis mendorong perang saudara di bumi Suriah dan dengan serakah bersaing menguasai barang rampasan dari Kerajaan Utsmani yang terpecah belah. Ia pun tak menyerukan reformasi yang ia yakini hanya memberi kemerdekaan dan otonomi palsu kepada Arab. Akibatnya, ia diserang hujatan dan kontra opini.
Kemudian, yang dicemaskan sang penyair terjadi. Di tangan Barat, Suriah Raya dipecah belah jadi Suriah, Lebanon, Jordania, dan Palestina (sebagian diklaim Israel). Diselingi masa damai sejenak, rakyat dari bangsa yang dulu megah dengan hikayat para rasul kini jadi pengungsi yang nestapa.
Suriah Raya potret negeri kita hari ini. Tengoklah Sumatera, Nias, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali, Sumbawa, Flores, Papua, dan pulau-pulau kecil nan tak tepermanaijumlah dan keelokannya sebagai kekayaan. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar senandung dari lagu nostalgia, melainkan kenyataan aktual geopolitik kita yang potensinya lebih besar daripada sekadar Majapahit dan Sriwijaya. Anugerah ini menuntut kewaspadaan dan penjagaan ketat.
Memetik pelajaran dari "Sang Nabi" dari Lebanon tentang pahitnya bencana dari sektarianisme, para penyair, prosais, penulis fiksi, satire, repertoar musik, dan drama; aktor, musisi, seniman panggung, orator budaya, dan segenap pengabdi di kaki Dewi Kesenian layak berjuang untuk menemukan relevansi eksistensi mereka dengan fenomena aktual bangsa kita yang religius.
Ruang tak bertuan
Religiositas cenderung damai, tetapi bisa jadi militan manakala digosok terlalu kuat dan bergesekan dengan entitas yang dianggap menodai citra agama. Di sini ada ruang tak bertuan tempat para petualang politik bermain. Jangan dibiarkan khalayak rentan terhadap pengaruh alkoholik dari tingkah akrobatik politikus bayaran dan aparat korup yang jadi agen provokasi sektarian. Saudara seagama diadu satu sama lain dengan laknat takfiri, rumah ibadah tetangga dibakar.
Minim program penggalian nilai-nilai budaya tradisi, kita pun kerap terancam kecenderungan bersikap lemah untuk menyerahkan kebijakan budaya ke pelukan kultur Barat yang sebagian dekaden. Dalam kenyataannya, justru yang dekaden itu yang kerap dominan, pesat, dan besar pengaruhnya atas sendi-sendi kehidupan bangsa seluruhnya.
Di balik gemerlap panggung seni, berita gaya hidup, dan aksi segelintir altruis menawan dari negeri antah-berantah, di dunia maya yang dibanjiri gagasan berlian hingga sampah berlumur fitnah dan sinisme, berpasang-pasang mata demonis mengintai. Dari balik tabir, mereka menggerakkan kuda troya dari lapisan rakyat jelata hingga kelas menengah terdidik buat menebar kebencian horizontal-vertikal hingga ke pucuk struktur pemerintahan yang sedang bekerja.
Dari balik dinding warna-warni citra budaya kontemporer, para pengintai siap mengerkah dan mencincang negeri kita hingga tercerai-berai. Kita terlalu kaya dengan entitas budaya, sumber alam, barang tambang dan mineral, serta keanekaragaman hayati untuk diabaikan begitu saja oleh korporasi-korporasi multinasional raksasa yang berkomplot dengan pialang ideologi.
Kita tengah menata kembali nilai kepribadian, moral birokrasi, harkat dan martabat nasional, supremasi hukum, seraya mengevaluasi mekanisme pemanfaatan kekayaan alam. Kerja besar ini menuntut akal sehat, pikiran jernih tanpa prasangka, toleransi dan kebersatuan, harga diri dan kebanggaan nasional. Untuk itu, Ibu Pertiwi butuh para abdi kebudayaan yang waskita, arif, dan teguh sebagai juru ingat bagi putra-putrinya sepanjang perjalanan panjang ini.
KURNIA JR
SASTRAWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Pelajaran dari Gibran".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar