Ada beberapa hal yang perlu disampaikan agar putusan tersebut tidak menjadi alat pembenar untuk menghadirkan kembali rezim izin pemeriksaan terhadap pejabat negara. Dalam konteks reformasi hukum, rezim izin pemeriksaan harus diakui sebagai hambatan dalam penegakan hukum.
Imunitas terbatas
Dalam teks Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas, di samping hak mengajukan pertanyaan dan hak menyampaikan usul dan pendapat. Hak tersebut dilihat dalam konteks untuk menyokong fungsi-fungsi DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Konsep di atas harus diterjemahkan dalam dua sisi yang saling berhubungan, hak imunitas akan muncul jika dugaan perbuatan pidana berhubungan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi di atas. Jadi, hak imunitas bukan hal yang serta merta muncul diterapkan terhadap semua tindak pidana/kejahatan.
Jika membaca secara cermat naskah UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD di dalam beberapa rumusan pasal yang terkait dengan hak imunitas, setidaknya ada tiga rumusan yang cukup menjelaskan bagaimana batasan hak imunitas tersebut. Pertama, setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Kedua, anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan wewenang konstitusional DPR dan/atau anggota DPR. Ketiga, anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu (PAW) karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi, serta wewenang dan tugas DPR.
Ketiga hal tersebut sebetulnya secara konstitusional telah cukup memenuhi unsur imunitas yang disebutkan dalam UUD. Rumusan ketentuan ini bisa menjadi rujukan bagi penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim, untuk menentukan apakah perbuatan anggota DPR tersebut relevan atau tidak dengan hak imunitas di atas. Apalagi, saat ini telah ada proses praperadilan yang dapat menguji keabsahan sebuah kasus pidana sebelum memasuki sidang pengadilan, tetapi tetap dengan catatan bahwa praperadilan harus didesain dengan batasan-batasan tertentu.
Dengan demikian, rezim izin pemeriksaan justru menimbulkan inefisiensi dalam penegakan hukum. Izin Presiden tak lebih hanya sebagai tindakan mubazir dalam penegakan hukum sekaligus menjadi rantai birokrasi baru.
Politik hukum
Publik melihat rezim izin pemeriksaan ini seperti mengalami dilema; di satu sisi ada upaya untuk menghilangkan prosedur ini, tetapi di sisi lain justru dimunculkan. Arah politik hukum izin pemeriksaan seperti tidak memiliki standar yang jelas dan tegas.
Pertanyaan mendasarnya adalah apa yang menjadi dasar bagi pembentuk undang-undang, termasuk MK, dalam menentukan bahwa pejabat negara tertentu harus diproteksi secara hukum melalui prosedur izin pemeriksaan? Apakah diserahkan sepenuhnya kepada kehendak pembentuk undang-undang atau terserah pada pendapat masing-masing hakim konstitusi?
Penulis melihat ini sebagai kemunduran kita dalam melihat eksistensi hukum yang membuat perlakuan berbeda antara warga biasa dan pejabat negara. Siapakah yang sebetulnya harus dilindungi ketika berhadapan dengan prosedur hukum, warga biasa atau pejabat negara?
Pada akhirnya, prosedur hukum yang mubazir ini akan dilihat dan dinilai sebagai korupsi yang terselubung. Sebab, dalam konteks penegakan hukum, prosedur tertentu kerap menjadi ruang dan pintu masuk bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Semakin banyak prosedur yang tidak relevan dan tidak akuntabel, semakin rentan pula birokrasi/administrasi penegakan hukum dijadikan sebagai benih korupsi baru.
REZA SYAWAWI
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Rezim Izin Pemeriksaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar