Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Oktober 2015

Semiotika Laut (ACEP IWAN SAIDI)

Laut adalah sebuah ruang (space) yang kompleks. Sebagai sebuah ruang, laut tak hanya bersifat fisik (material space), tetapi juga nonfisik (immaterial space).

Merujuk kepada filsafat Kantian, laut  bisa dibilang sebagai ruang dalam dunia pemikiran. Di samping itu, laut juga dapat dikategorikan sebagai ruang emosional dan spiritual yang dibentuk oleh atribut fisik dan intelektual manusia sehingga darinya lahir ekspresi (artistic space). Kompleksitas laut menyebabkan darinya dapat dibentuk bahasa figuratif. Kita tahu, bahasa figuratif lahir dimotivasi oleh adanya yang diberi figura itu sendiri, yakni realitas. Laut adalah realitas yang melahirkan ekspresi spiritual dan artistik sedemikian.

Kesatuan dari makna di atas tampak tegas pada laut kita, paling tidak hal itu ditemukan dalam mitosnya. "Nenek moyangku orang pelaut" adalah nyanyian yang merepresentasikan mitos itu. Darinya bisa dibaca bahwa, bagi leluhur bangsa ini, laut adalah entitas yang tak bisa dipisahkan dari tubuh. Laut menjadi tempat aktivitas sekaligus mengejawantah menjadi karakter diri. Di laut, kehidupan di bangun dan keyakinan dilahirkan.

Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam polemik kebudayaan 80 tahun lalu (1935), Sutan Takdir Alisyahbana (STA) menjadikan laut sebagai "kata kunci idiomatik" untuk memfigurasi apa yang disebutnya manusia baru Indonesia. Sebagaimana diketahui, STA sangat lantang meneriakkan konsep manusia baru Indonesia sebagai yang harus mengacu ke kebudayaan Barat. Untuk ini, dalam salah satu karya estetiknya, STA menulis puisi berjudul Menuju Ke Laut.

Sajak ini secara eksplisit memosisikan laut sebagai ruang figuratif bagi masa depan kehidupan berbangsa. Perhatikan bait pertamanya sebagai berikut:

Kami telah meninggalkan engkau,

Tasik yang tenang, tiada beriak,

 Diteduhi gunung yang rimbun

 Dari angin dan topan

 Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat:

 Ombak ria berkejar-kejaran

Di gelanggang biru bertepi langit

Pasir rata berulang dikecup,

Tebing curam ditantang diserang,

 Tidak berhenti sampai di situ, STA juga menciptakan kode (encoding) bagi puitika laut tersebut melalui tokoh dalam karya prosanya. Dalam roman Layar Terkembang-lagi-lagi idiom dari ekosistem laut-STA menciptakan tokoh Tuti, seorang perempuan yang dinamis dan progresif, sosok yang meninggalkan karakter konvensional perempuan kala itu. Tuti adalah sosok yang hidup dalam ruang pemikiran STA, tentang manusia baru yang bermigrasi dari tasik ke laut.

Laut yang hanyut

Namun, figurasi laut untuk membingkai tesis manusia baru versi STA sedemikian, dalam sejarah pemikiran modern di negeri ini ternyata nyaris terlupakan. Berbagai pembahasan ulang mengenai polemik kebudayaan 80 tahun lalu itu selalu saja melihat narasi besarnya, yakni mengenai perdebatan tentang kebudayaan itu sendiri. Sementara elemen pembentuknya yang spesifik, yang karena itu dapat disebut sebagai ujaran individu (parole), nyaris tak pernah dilirik. Laut pun hanyut oleh wacana besar pemikiran sedemikian.

 Di samping itu, setelah kemerdekaan, khususnya sepanjang orde otoriter Soeharto, laut betul-betul tenggelam, khususnya dalam ruang gagasan juga wacana strategik pembangunan manusia. Pada masa ini, laut hanya hadir sebagai ruang fisik yang menakutkan. Sejarah laut menjadi identik sejarah militer. Periksa kembali catatan sejarah yang tertulis di buku-buku sekolah lanjutan kala itu. Sejarah kerajaan laut yang digdaya, Majapahit, misalnya, tak lain adalah sejarah perang dan penaklukan.

Konstruksi kuasa yang menjadikan laut sebagai ruang bagi sejarah penaklukan sedemikian lantas gayung bersambut dengan mitos-antropologis ratu laut yang menakutkan. Khususnya di Jawa, Ratu Laut Pantai Selatan (Roro Kidul) menjadi kisah horor yang bertahan hingga kini. Dalam catatan Denys Lombard (1996), mitos itu ditambah dengan kondisi alam pantai selatan yang terjal, menyebabkan laut di wilayah ini tidak tersentuh. Istilah pesisir, tambah Lombard, tidak berlaku bagi pantai selatan. Pesisir, yang kemudian darinya dikenal masyarakat pesisir hanyalah sebutan untuk daerah pinggir laut pantai utara. Dan, dalam perkembangannya, kesan yang dominan tentang laut adalah keangkeran laut selatan ini.

Oleh sebab itu, laut pun kian dijauhi. Dalam perspektif semiotika Peirce (dalam Short, 2007), laut menjadi indeks bagi ruang material yang menakutkan, yang kemudian berpindah ke dalam ruang gagasan, menjadi mitos (Barthes, 1983). Gulungan ombak yang menderu tidak lagi menjadi idiom dari kehidupan yang dinamik, medan pertempuran penuh tantangan sebagaimana dibayangkan STA, tetapi menjadi penanda keliaran yang menakutkan. Bagi anak-anak Jawa modern, Jawa hanyalah daratan.

Laut begitu jauh. Ia memisahkan tempatnya tinggal dari pulau di seberangnya.  Padahal, seperti juga dicatat Lombard, di Pulau Jawa nyaris tidak ada tempat yang jaraknya di atas 100 kilometer dari laut. Dan, laut bukanlah pemisah, melainkan justru menyatukan pulau-pulau itu.

Ke arah tol laut Jokowi

Mitologi laut sedemikian rupanya membuat Presiden Jokowi gerah. Sejak awal, Jokowi tampak ingin mengajak rakyat kembali menengok laut: masa depan Indonesia adalah laut. Pidato pertamanya sebagai presiden di galangan kapal di Tanjung Priok adalah konstruksi semiotik yang mengirim pesan simbolik: "pemerintahannya menghadap ke laut". Pertanyaannya, akankah Jokowi berhasil?

 Sepanjang yang teramati hingga esai ini ditulis, tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Ironisnya,  pasca pidato di galangan kapal itu langkah kepemimpinan Jokowi justru tampak mengarah ke permukaan, bukan ke kedalaman laut. Konsep Jokowi tentang laut, yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, juga gagasannya tentang tol laut, cenderung berbasis ekonomi-materialistik. Laut lebih diposisikan sebagai lahan tidur potensial untuk dieksplorasi demi menyejahterakan rakyat secara ekonomi. Hal ini tentu tidak salah. Hanya, sangat berbahaya. Jika laut hanya ditatap dengan perspektif itu, nasib lautan tentu tidak akan jauh berbeda dengan daratan. Ia bukan dieksplorasi, melainkan dieksploitasi.

 Oleh sebab itu, sebelum tol laut dibangun, sebelum di tengahnya ditancapkan poros, kiranya penting dibangun  jalan ke arah laut itu sendiri. Jalan ini tidak lain merupakan perspektif yang menatap sekaligus memosisikan laut bukan hanya sebagai ruang material, melainkan immaterial. Harus dibangun mitos baru mengenai laut dengan cara menggali dan mengontekstualisasi mitos-mitos lamanya. Mitos baru ini hendaknya menjadi keyakinan yang tertanam di dalam benak generasi penerus bahwa laut adalah ruang keadaban bangsa, tempat karakteristik manusianya dibangun. Dengan keyakinan ini, laut sejatinya dibangun sekaligus dijaga dan dihormati, tidak dirampas dan diempaskan sebagaimana sikap kita terhadap daratan.

 Untuk itu, pada tataran teknis, ontologi dan epistemologi laut harus ditanamkan sejak dini pada masyarakat melalui pendidikan. Kementerian pendidikan harus memikirkan kurikulum yang memberi ruang yang memadai untuk pembelajaran tentang laut sejak sekolah dasar. Dengan demikian, laut tidak hanya dipelajari di akademi kelautan. Jika kita yakin laut adalah masa depan Indonesia, jelas ia harus dibangun dari sekarang. Dan, yang harus pertama dibangun adalah mentalitas manusianya. Bolehlah disebut di sini bahwa mentalitas masa depan manusia Indonesia adalah mentalitas lautan. Tanpa modal ini, tol laut hanya akan jadi jalan yang mempercepat kematian laut itu sendiri.

ACEP IWAN SAIDI

Dosen Desain dan Kebudayaan pada Sekolah Pascasarjana ITB

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Semiotika Laut".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger