Jatuhnya Kunduz merupakan pukulan berat bagi pemerintah Kabul pimpinan Ashraf Ghani. Jatuhnya Kunduz juga merupakan pukulan bagi aliansi militer pimpinan AS yang menginvasi Afganistan setelah serangan teroris ke World Trade Center, AS, 11 September 2001.
Kunduz terlepas dari tangan Taliban setelah jatuhnya pemerintahan Taliban pimpinan Mullah Omar pada 2011. Sejak saat itu, Kunduz berada di bawah kekuasaan Kabul. Namun, berhasil dikuasainya Kunduz oleh Taliban—meski sekarang sudah direbut kembali oleh pasukan pemerintah Afganistan dukungan AS—memberikan pesan begitu jelas kepada pemerintah Kabul, juga pasukan koalisi termasuk AS, bahwa Taliban tetap merupakan kekuatan militer yang berbahaya.
Pertanyaan kita adalah apakah pemerintah Kabul akan mampu mempertahankan seluruh wilayah Afganistan—bahkan mempertahankan Kabul—kalau nanti pada akhirnya pasukan AS ditarik dari Afganistan? Menurut rencana, AS akan menarik seluruh pasukannya pada 2016, seperti dikatakan Presiden AS Barack Obama. Artinya, 14 tahun sejak mereka berada di negeri itu.
AS memang secara bertahap telah menarik pasukannya dari Afganistan. Tahun lalu, jumlah tentara mereka 32.000 orang. Tahun ini, jumlah tentara AS di Afganistan 9.800 personel. Tahun ini, jumlahnya akan tinggal separuh serta akhir tahun depan semua ditarik.
Kekhawatiran akan masa depan Afganistan setelah seluruh tentara AS ditarik, seperti disebut di atas, juga diungkapkan oleh chief executive dalam pemerintahan bersatu pimpinan Ashraf Ghani, Abdullah Abdullah. Bahkan secara tegas Abdullah Abdullah mengatakan, "Tentara AS perlu tetap dipertahankan di Afganistan untuk jangka lama jika Afganistan yang demokratis ingin hidup."
Kondisi di lapangan memperkuat pendapat Abdullah Abdullah itu. Sistem politik Afganistan rusak di tengah tuduhan-tuduhan kecurangan dalam pemilu presiden lalu (antara Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah). Militer Afganistan rapuh karena kurangnya perlengkapan, logistik, kemampuan intelijen, korup, ataupun tingginya desersi. Sementara Taliban memiliki semangat baru di bawah pemimpin tertinggi yang baru, Mullah Akhtar Mansour.
Pertanyaannya tentu apakah Afganistan akan selamanya tergantung pada kekuatan asing? Terlalu lama—14 tahun—negeri itu menyusu pada kekuatan asing (NATO dan AS). Jika kondisi itu berlarut dan mereka tak mampu mengurus diri sendiri, masa depan negeri itu tentu akan suram dan rakyat lagi yang akan sengsara di bawah kekuasaan Taliban yang membelenggu kebebasan dasar manusia, terutama kaum perempuan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Masa Depan Afganistan Kelam".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar