Sayangnya, impian itu tidak menjadi kenyataan. Libya yang "diselamatkan" dari tangan Khadafy oleh kekuatan NATO serta keputusan Perancis, Inggris, dan Qatar tidak dapat berjalan lurus memasuki babakan baru seperti yang diimpikan rakyatnya. Revolusi Musim Semi, Arab Spring, yang bermula di Tunisia lalu menyapu negara-negara tetangga, termasuk Libya, justru telah melemparkan mereka ke panggung perang saudara; ke perpecahan bangsa dan negara.
Keputusan parlemen Libya—yang diakui dunia internasional—menolak usulan PBB, yakni membentuk pemerintahan bersatu, menjadi bukti bahwa ada persoalan besar di negeri itu. Libya, secara garis besar, telah terpecah menjadi dua kubu besar: Libya timur yang berpusat di Tobruk dan Libya barat yang menjadikan Tripoli sebagai pusat pemerintahan.
Yang menjadi persoalan besar adalah setiap kubu yang membentuk pemerintahan itu didukung oleh kelompok bersenjata. Tripoli, misalnya, dibentuk faksi Islamis, Fajar Libya. Di dalam kelompok ini tergabung, antara lain, Ansar al-Sharia dan kelompok-kelompok bersenjata yang dulu anti Khadafy.
Sementara Tobruk didukung kelompok militer pimpinan Jenderal Khalifa Haftar, seorang jenderal di zaman Khadafy yang pada 1980-an melarikan diri ke AS dan kembali lagi ke Libya setelah Khadafy jatuh. Kelompok ini ingin membentuk pemerintahan demokratis di Libya baru.
Namun, pertarungan di antara keduanya telah melahirkan—pertama-tama—hilangnya rasa aman di tengah masyarakat; kedua, karena rusaknya keamanan, fungsi-fungsi lembaga pemerintah pun tidak berjalan; ketiga, tujuan membentuk pemerintahan baru tidak berhasil.
Kondisi ini bermula dari kegagalan pemerintahan sementara pasca Khadafy untuk melucuti dan memobilisasi kelompok-kelompok bersenjata, para pemberontak militan, setelah Khadafy jatuh. Akibatnya, berbagai kelompok bersenjata bertarung memperebutkan daerah-daerah yang kaya sumber daya, seperti minyak. Kelompok bersenjata berhasil menguasai sebagian besar wilayah dan pemerintahan baru hasil pemilu tak berdaya.
Kini, setelah usulan PBB membentuk pemerintahan bersatu ditolak kedua belah pihak dengan alasan yang sesuai dengan kepentingan masing-masing, membayangkan lahirnya sebuah negara baru, sebuah Libya baru yang demokratis, adalah sebuah kemewahan. Masa depan Libya lebih terlihat semakin kabur. Selama kedua pihak berteguh hati pada pendirian dan sikap masing-masing, selama itu pula Libya kelam.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Melihat Masa Depan Libya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar