Tampaknya pemerintahan Joko Widodo akan mengakhiri kebuntuan 12 tahun mandat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 untuk melahirkan peraturan pemerintah (PP) tentang pengupahan, menggantikan PP No 8/1981. Ini sekaligus akan mengakhiri drama perseteruan tahunan tripartit antara kaum buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Tindak lanjut legislasi setelah pengumuman paket kebijakan ini akan diikuti lahirnya sebuah PP pengupahan baru dan tujuh peraturan menteri ketenagakerjaan, yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Formula UM; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi/Upah Minimum Kabupaten (UMP/UMK); Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penetapan UMS; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Struktur Skala Upah; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang THR; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Uang Service; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Formula penetapan UM yang sederhana terprediksi dan less-politicking sudah lama dinantikan para pelaku bisnis di Indonesia. Dua rezim pemerintah sebelumnya (Megawati Soekarnoputri dan SBY) gagal menelurkan PP pengupahan akibat selalu mentok dalam pembahasan di tripartit pengupahan nasional. Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, apakah formula baru ini akan melindungi buruh ke arah yang lebih baik, atau hanya untuk kepentingan pebisnis?
Dalam konsep internasional, penetapan upah minimum (UM) adalah salah satu bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah ke buruh sebagai bentuk jaring pengaman sosial. Agar upah buruh tidak jatuh kepada mekanisme pasar bebas. Umumnya, UM diperuntukkan bagi pekerja berpendidikan rendah, pekerja tanpa keahlian, pekerja lajang, pekerja kontrak di bawah satu tahun. Jika UM ditetapkan di bawah kebutuhan minimum, konsep perlindungan sosial negara akan hilang. Tetapi, bila ditetapkan di atas upah kebutuhan minimum, maka akan konflik dengan situasi pasar kerja.
Konsep yang salah kaprah
Pada hal terakhir inilah Indonesia menghadapi masalah, karena membuat konsep UM menjadi salah kaprah. Pasal 88-89 UU No 13/2003 menyebutkan, "Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi".
Misi UM yang sejatinya ditujukan untuk upah jaring pengaman ke buruh rentan, tidak ahli, dan lajang berubah menjadi upah hidup layak untuk semua buruh. Dari konsep mana pun, upah minimum pasti lebih rendah dari upah hidup layak. Namun, karena konsep yang salah, kalangan serikat buruh selalu meminta kenaikan UM yang terus tinggi, dengan mengajukan revisi perubahan besaran komponen upah. Apalagi persepsi akan hidup layak adalah sesuatu yang abstrak dan bebas diterjemahkan sesuai sektor, profesi, jabatan, pendidikan, penghasilan, pandangan hidup, dan seterusnya.
Ada lima pokok kelemahan dari formula baru UM ini. Pertama, formula ini menyebutkan bahwa penetapan UM didasarkan pada: UM tahun berjalan ditambah persen inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini bertentangan dengan isi UU No 13/2003 yang terang benderang menyebutkan bahwa "Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/wali kota". Apakah pemerintah tidak menghitung akan adanya aksi gugatan hukum di PTUN bila formula ini dijalankan? Ataukah tidak sebaiknya pemerintah mengeluarkan perppu mengganti UU No 13/ 2003 yang sudah enam kali diubah oleh Mahkamah Konsitusi.
Kedua, UU No 13/2003 memang mengamanatkan adanya PP untuk pengupahan. Tetapi, tidak untuk mengubah formula pengupahan. Namun, mandat yang diberikan, seperti tertuang dalam Pasal 97 hanya untuk mengatur ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan pengupahan.
Ketiga, formula UM dengan menggunakan tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional secara ekonomi tidak adil bagi daerah yang tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonominya lebih rendah atau lebih tinggi dari angka nasional.
Keempat, pemerintah dalam penjelasannya mengatakan nantinya akan ada evaluasi KHL setiap lima tahun. Pertanyaannya, kalau UM ditetapkan melalui formula baru ini, maka tidak lagi relevan melakukan evaluasi KHL. Sebab UM tidak lagi didasarkan atas 60 komponen KHL, seperti praktik selama ini, tetapi berdasarkan rumus baru di atas.
Yang justru mendesak dilakukan adalah mewajibkan seluruh perusahaan memiliki struktur dan skala upah, dengan membuat sanksi administratif kepada pelanggarnya. Dengan demikian, tidak lagi ditemui pekerja yang selalu dibayar sebatas UM walau sudah bekerja puluhan tahun.
Kelima, ini masalah penting buat serikat buruh, yaitu pemandulan peran serikat buruh dalam penetapan UM. Dengan formula baru serikat buruh tidak lagi terlibat dalam urusan upah. UM untuk buruh masa kerja di bawah satu tahun akan ditetapkan sesuai formula baru. Sementara upah di tingkat perusahaan akan ditentukan oleh struktur dan skala upah. Serikat buruh hanya akan terlibat dalam perumusan konsep upah sekali lima tahun dalam wadah lembaga tripartit. Itu pun dengan asumsi ada konsep upah baru yang disetujui oleh pengusaha atau pemerintah. Pemandulan lembaga tripartit pengupahan merupakan kemunduran besar bagi Indonesia yang oleh ILO dikenal memiliki konsep dialog-sosial yang bagus.
Solusi komprehensif
Untuk pemerintah, pembuatan formula UM sebaiknya jangan dilakukan secara gegabah, untuk menghindari kebingungan publik. Tuntutan efisiensi dan kepastian berusaha jangan dilakukan dengan menabrak perundangan. Jangan sampai kasus pengambilan dana jaminan hari tua (JHT) terulang kembali. Baru diumumkan, tetapi langsung diubah beberapa hari kemudian. Pemerintah juga harus memastikan agar angka inflasi tetap rendah agar pendapatan, dana JHT, dan pensiun buruh tak habis tergerus.
Pertumbuhan ekonomi harus dikaitkan dengan penurunan angka pengangguran dan penurunan pekerja informal. Karena di masa Orde Baru pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa menciptakan lapangan kerja 400.000, saat ini hanya bisa menciptakan 200.000-300.000, akibat menurunnya investasi padat karya. Pemerintah selanjutnya harus memperkuat pengawasan untuk memperkuat kepatuhan pembayaran dan memperluas besaran cakupan UM. Karena di sini titik lemah pemerintah selama ini. Selanjutnya, ketentuan penundaan pembayaran UM tak boleh diberlakukan lagi dengan alasan apa pun.
Buat pengusaha, diharuskan memiliki struktur dan skala upah, sebab hanya sebagian kecil perusahaan yang mematuhinya sekalipun sudah ditetapkan UU sejak 2003. Pemerintah harus memberikan sanksi administratif kepada perusahaan yang tidak memiliki struktur dan skala upah. Pengusaha juga diwajibkan secara transparan menginformasikan kepada pekerjanya. Buat kalangan serikat buruh, dinantikan usulan yang konstruktif. Jangan berhenti hanya pada sikap menolak gagasan perubahan. Beberapa opsi harus ditawarkan untuk mencegah kemandekan perundingan. Terlalu lama waktu 12 tahun untuk menantikan sistem pengupahan dilahirkan.
Sebenarnya kalau mau disederhanakan, sistem upah untuk Indonesia bisa dilakukan dengan dua model, yaitu UM dan upah hidup layak (UHL). Upah minimum untuk mereka dengan masa kerja di bawah satu tahun ditetapkan oleh pemerintah dengan formula UM ditambah tingkat inflasi daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah. Tetapi, pengawasannya melibatkan serikat buruh dalam wadah tripartit daerah. Untuk UHL ditetapkan melalui perundingan bipartit tingkat perusahaan berdasarkan komponen KHL dan produktivitas. Ini akan lebih adil karena setiap perusahaan memiliki kondisi dan kemampuan yang berbeda.
REKSON SILABAN
Direktur Indonesia Labor Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Formula Baru Upah Minimum".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar