Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 Oktober 2015

TAJUK RENCANA: Tantangan Perlindungan TKI (Kompas)

Perlindungan tenaga kerja Indonesia selalu menjadi isu krusial dalam setiap rezim pemerintahan, tak terkecuali Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Hal ini bukan hanya karena jumlah TKI yang sangat besar, sekitar 3 juta orang, melainkan sudah menyangkut tanggung jawab negara dalam melindungi warganya yang mengais rezeki di negara orang karena negara sendiri tak mampu menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Ironisnya, kita selalu keteteran dalam satu hal ini.

Komitmen Jokowi-Kalla dalam perlindungan TKI ditegaskan dalam Nawacita. Kendati dinilai berhasil membuat beberapa kemajuan dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya dalam setahun pemerintahannya dan lebih responsif dalam menanggapi kasus atau persoalan terkait TKI, masih banyak keluhan dan kesan masih absennya negara dalam berbagai kasus menyangkut TKI.

Kita melihat selama ini berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk mengatasi persoalan yang dihadapi TKI, baik sebelum penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah penempatan atau masa kepulangan. Demikian pula penyiapan payung hukum dan penandatanganan konvensi internasional serta komitmen perjanjian bilateral dengan negara-negara tujuan penempatan untuk menjamin perlindungan TKI di negara tujuan.

Namun, kekerasan dan kasus hukum yang menimpa TKI terus terjadi. Pada saat yang sama, kita juga melihat masih banyak persoalan mendasar terkait TKI terjadi di depan mata kita sendiri, seperti masih maraknya mafia pengerahan jasa TKI ilegal, perdagangan manusia, pemerasan terhadap TKI, dan banyaknya TKI tak siap kerja.

Setiap kali itu pula respons pemerintah sering berhenti pada langkah ad hoc, tidak menyentuh akar masalah, sehingga keseriusan pemerintah dipertanyakan.

Sejumlah kasus penyiksaan dan eksekusi mati TKI di luar negeri—beberapa bahkan berlangsung tanpa sepengetahuan keluarga atau perwakilan pemerintah kita di sana—tidak hanya menunjukkan lambatnya identifikasi dan juga respons pemerintah, tetapi juga absennya negara dalam perlindungan warganya di luar negeri.

Dalam banyak kasus, sering kali diplomat dan perwakilan negara kita menjadi bagian dari titik lemah dalam rantai perlindungan TKI di luar negeri. Namun, menimpakan kesalahan kepada mereka seluruhnya juga tidak tepat. Berbagai penelitian menegaskan, 80 persen persoalan menyangkut TKI ada di negara asal, menunjukkan kita sendiri alpa mengerjakan pekerjaan rumah.

Kita harus belajar dari Filipina yang berhasil mengangkat harkat dan martabat para pekerja migrannya, pertama-tama dengan memperbaiki kualitas pekerja itu sendiri, diikuti kehadiran negara dalam mengawal setiap proses. Hasilnya, bukan hanya kesejahteraan buruh migran dan remitansi yang tiga kali lipat Indonesia, melainkan diharapkan juga tidak ada lagi eksploitasi dan perbudakan pekerja kita di luar negeri.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Perlindungan TKI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger