Beberapa hari terakhir, permasalahan beras bahkan membuat orkestrasi penyelenggaraan pemerintahan mengalami disharmoni. Para elite penguasa terlibat polemik secara terbuka dalam wacana publik.
Hanya berselang beberapa hari, pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang rencana pemerintah mengimpor beras 1,5 juta ton dari Thailand dimentahkan oleh pernyataan Presiden Joko Widodo. Cadangan beras nasional yang mencapai 1,7 juta ton (dimungkinkan masih ada tambahan pada panenan Oktober-November) dianggap mencukupi sehingga pemerintah belum berencana mengimpor beras.
Selama ini, upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk selalu bertumpu pada upaya peningkatan produksi, seperti pencetakan sawah baru, inovasi teknologi budidaya, dan penggunaan sarana produksi unggul. Ke depan, upaya semacam ini tidak dapat lagi diandalkan sebagai upaya peningkatan produksi karena telah terjadi kejenuhan lahan terhadap berbagai input teknologi.
Di sisi lain, upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional dihadapkan pada banyak permasalahan lain. Hal itu di antaranya pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan peningkatan produksi beras, masifnya konversi lahan pertanian, dan perubahan agroklimat yang berpengaruh signifikan terhadap penurunan produksi.
Kearifan lokal
Secara sosiokultural, sistem produksi pangan di republik ini menganut polapeasant-based and family-based food production yang berbasis pada jutaan petani kecil dan luas lahan yang sempit. Nasib pangan bangsa selalu ditumpukan pada sistem produksi pertanian tradisional dengan pelaku petani kecil. Sistem ini diyakini tidak akan mampu menjawab tantangan kebutuhan pangan yang meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Jujur kita akui, problematika menyangkut beras yang kita hadapi sekarang buah dari kebijakan berasisasi yang gencar dilakukan pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan sesudahnya. Dalam kuliah umum lebih dari 30 tahun lalu, Guru Besar Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor FG Winarno mengkritik keras kebijakan berasisasi yang ditempuh pemerintah Orde Baru. Kebijakan itu dinilai sebagai kesalahan fatal. Selain menggusur kearifan pangan lokal, kebijakan berasisasi juga akan jadi bumerang bagi pemerintah di kemudian hari. FG Winarno mengingatkan, mengubah pola konsumsi pangan sebuah bangsa butuh waktu beberapa generasi.
Kebijakan berasisasi telah membuat kearifan pangan lokal tercerabut. Di sisi lain, angka partisipasi konsumsi beras naik secara fantastis. Pada 1954, konsumsi beras bangsa kita baru 53,5 persen, sisanya dicukupi dari ubi kayu (22,26 persen), jagung (18,9 persen), dan kentang (4,99 persen). Pada 1987, angka konsumsi beras menjadi 81,1 persen. Sebaliknya, terjadi penurunan angka partisipasi konsumsi ubi kayu menjadi 10,02 persen dan jagung menjadi 7,82 persen.
Selain melalui peningkatan produksi (on-farm), pemenuhan kebutuhan beras nasional juga harus ditempuh melalui pendekatan off-farm, di antaranya dengan upaya menekan kehilangan hasil. Saat ini, angka rata-rata kehilangan pasca panen padi nasional masih di atas 12 persen.
Sebagai gambaran, sesuai angka ramalan I Badan Pusat Statistik, produksi padi nasional 2015 mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling. Jika kita mampu menekan angka kehilangan hasil gabah/beras menjadi 6 persen saja melalui modernisasi peralatan (mekanisasi), beras yang dapat kita selamatkan tidak akan kurang dari 3 juta ton per tahun. Volume yang sangat besar dan dapat digunakan untuk menutup kekurangan kebutuhan beras domestik yang selalu diimpor.
Upaya off-farm lain adalah mengurangi konsumsi beras penduduk melalui program diversifikasi bahan pangan sumber karbohidrat. Negara kita sangat kaya varian bahan pangan sumber karbohidrat, mulai dari jagung, hermada, sukun, ketela pohon, ketela rambat, kentang, hingga tanaman umbi-umbian lain.
Berbasis tepung
Agar program diversifikasi pangan substitusi beras dapat berjalan cepat dan berkesinambungan, semua bahan pangan tersebut harus berbasis tepung-tepungan (flour-based food). Untuk itu, pemerintah harus menggalakkan produksi tepung umbi-umbian sebagai substitusi beras atau terigu dalam pembuatan mi atau roti. Kisah sukses produksi dan pemasaran mocaf (modified cassava flour) yang sudah banyak digunakan warga masyarakat sebagai substitusi beras dan terigu dalam pembuatan mi atau roti sudah saatnya diperluas untuk umbi-umbian lain.
Kampanye sehari tanpa nasi harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan untuk menurunkan angka konsumsi beras. Konsumsi beras masyarakat kita versi Kementerian Pertanian adalah 139,15 kilogram per kapita per tahun. Jika angka konsumsi beras dapat diturunkan menjadi 100 kilogram per kapita per tahun saja, beras yang bisa dihemat tidak kurang dari 9 juta ton per tahun.
Namun, satu hal yang harus diingat, upaya penurunan angka konsumsi beras ini tidak boleh terjadi karena masyarakat beralih mengonsumsi terigu. Jika hal ini yang terjadi, justru akan muncul permasalahan baru yang lebih rumit. Hal ini mengingat tanaman gandum yang digunakan untuk produksi tepung terigu adalah tanaman subtropis yang sulit dikembangkan di Indonesia sehingga kebutuhan terigu sepenuhnya dipenuhi dari impor gandum.
Aspek lain yang mesti disadari, semua upaya itu harus diikuti dengan upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Angka laju pertumbuhan penduduk saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka peningkatan produksi beras. Untuk itu, merevitalisasi program Keluarga Berencana merupakan sebuah keniscayaan bagi pemerintah. Tanpa pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang serius, bangsa ini akan selalu tersandera oleh beras.
TOTO SUBANDRIYO
PENGAMAT EKONOMI; ALUMNUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DAN MAGISTER MANAJEMEN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Tersandera oleh Beras".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar