Berbagai kebijakan telah dikeluarkan dengan preferensi yang mencerminkan kebijaksanaan per masa dari setiap rezim. Belakangan terjadi pergeseran, yaitu pendulum gas sebagai komoditas berpindah jadi modal pembangunan berkelanjutan. Pilihan yang seyogianya diikuti hilirisasi nilai secara konsisten sampai pada tataran peraturan operasional. Harapannya, tujuan akhir menjadikan gas sebagai sumber kesejahteraan rakyat tercapai.
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagai turunan Undang-Undang No 30/2007 tentang Energi mengafirmasi kemauan politik pemerintah menjadikan gas sebagai modal pembangunan nasional. Sejumlah strategi taktis pun diambil agar tujuan tercapai, salah satunya merumuskan pengaturan alokasi dan pemanfaatan gas yang menurut rencana dituangkan dalam peraturan presiden.
Aturan main yang berlaku sekarang adalah Peraturan Menteri ESDM No 3/2010 yang perspektifnya adalah membagi gas untuk pemanfaatan dalam negeri berbasis pada prioritas sektor dengan urutan peningkatan lifting migas, industri pupuk, ketenagalistrikan, dan industri lain. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut telah terpenuhi, Menteri ESDM diberi kewenangan untuk menetapkan kebijakan pemanfaatan lain, termasuk ekspor gas. Dalilnya adalah asumsi keterbatasan gas sehingga alokasi dan pemanfaatan harus dibagi dan ditetapkan sedemikian rupa melalui mekanisme prioritas agar kebutuhan pengguna di dalam negeri dapat terpenuhi.
Realitasnya, produksi gas lebih banyak diekspor. Tren keseimbangan pemanfaatan domestik-ekspor baru dimulai pada 2012 melalui tercapainya titik ekuilibrium dengan jumlah ekspor 3,631 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) dan pemanfaatan domestik 3,550 BBTUD. Lebih lanjut, rasio dominasi kebutuhan dalam negeri baru benar-benar tercapai tahun 2013 melalui peningkatan pemanfaatan domestik jadi 53 persen atau setara 3,774 BBTUD. Berdasarkan itu, keterbatasan produksi gas tak dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan norma prioritas berbasis sektor.
Permen ESDM tersebut juga tak sesuai dengan paradigma gas sebagai modal pembangunan. Pertama, menurut Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN), gas diprioritaskan untuk pemanfaatan yang memiliki nilai tambah terbesar. Kedua, PP KEN memerintahkan gas diprioritaskan untuk daerah penghasil sehingga integrasi negara terjaga.
Ketiga, menurut UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), gas sebagai sumber daya tak terbarukan tidak dikonsumsi langsung, tetapi menjadi input produksi dan industri. Keempat, gas diprioritaskan sebagai bahan baku dan bahan bakar bagi industri strategis serta pemanfaatannya disinkronkan dengan kebijakan industri nasional, sebagaimana diperintahkan UU Perindustrian.
Kelima, sesuai UU Perdagangan, perlu dilakukan pengendalian ekspor gas untuk menjamin kebutuhan dalam negeri. Keenam, prioritas pemanfaatan gas disesuaikan dengan PP No 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 adalah meningkatkan nilai tambah. Ketujuh, gas diprioritaskan untuk mewujudkan kedaulatan energi melalui pemanfaatan dalam negeri sebesar 53-64 persen untuk 2015-2019.
Tuntunan di atas sekaligus menahbiskan karakteristik penetapan alokasi dan pemanfaatan gas sebagai kebijakan yang dinamis karena akan mengikuti kebijakan pemerintah untuk kurun waktu tertentu, disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat dan tujuan pembangunan. Oleh karena itu, konstruksi pengaturan dalam regulasi turunan yang statis tidak akan berlaku efektif.
Meskipun demikian, tetap ada pedoman umum sebagai arah berupa pasal-pasal yang relevan dalam UU Migas dan UU Energi. Selain terdapat pula UU lain yang seharusnya dijadikan rujukan dalam menarasikan makna dan strategi menjadikan gas sebagai modal pembangunan, tetapi diabaikan oleh pembuat kebijakan, yaitu UU Perdagangan dan UU Perindustrian. UU RPJPN pun lupa diakomodasi, padahal kedudukannya krusial sebagai pedoman untuk menjaga kesinambungan pembangunan dalam periode 2005-2025 sehingga mengikat setiap rezim pemerintahan dalam periode tersebut.
Lebih lanjut, kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas perlu disusun berbasis kebutuhan aktual pengguna, yang mayoritas adalah industri. Caranya melalui koordinasi lintas sektoral antara Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian untuk merumuskan neraca gas berbasis rencana pemanfaatan SDA yang wajib disusun perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri berdasarkan UU Perindustrian.
Pada konteks ini, perlu ada sinergi dan menjaring masukan dari Kadin, Hipmi, Inaplas, dan asosiasi industri lain. Pemetaan kebutuhan dilakukan karena karakteristik pemanfaatan gas setiap pengguna berbeda, seperti kebutuhan untuk BBG, komersial, dan rumah tangga cenderung tetap. Ini berbeda dengan industri yang kebutuhannya bervariasi mengikuti skala usaha dan permintaan pasar. Adapun pembangkit PLN membutuhkan gas dengan karakteristik khusus dan volumenya pun fluktuatif bergantung saat beban puncak.
Urgensi penetapan peraturan presiden (perpres) sebagai baju hukum pengelolaan gas perlu dikaji lebih lanjut. Perlu ada kebutuhan yang melandasi, baik sosiologis maupun yuridis, terlebih RUU Migas yang sedianya akan menaungi tata kelola gas sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional. Di sisi lain, muatan pasal demi pasal dalam perpres dapat sesuai dengan UU Migas (baru) atau bahkan bertentangan. Apabila terjadi pertentangan, sedangkan industri gas sudah telanjur menyesuaikan diri dengan perpres, akan timbul inefisiensi.
IRINE HANDIKA
Pengajar Fakultas Hukum dan Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar