Hal menarik adalah rata-rata yang terlibat dalam gejala itu berusia muda, 17-40 tahun.
Pendekatan psikologi melihatnya sebagai persoalan kejiwaan anak muda saat masa peralihan dari kanak-kanakmenuju dewasa, yang kerap memunculkan berbagai kegalauan. Ajaran agama radikal menawarkan kepastian sebagai solusi mengatasi persoalan itu. Ada pula yang berpendapat bahwa penyebabnya adalah pemahaman keagamaan radikal yang dipelajari anak-anak muda dari berbagai sumber.
Perkembangan teknologi informasi-komunikasi (TIK) yang amat pesat kian memudahkan mereka mempelajarinya. Penjelasan lain menempatkan hal itu sebagai hasil dari persentuhan anak-anak muda dengan kelompok radikal, yang dipermudah dengan prasarana dan sarana transportasi yang relatif baik serta perkembangan TIK.
Ketiga hal itu memang memengaruhi perkembangan radikalisme agama di kalangan anak muda, tetapi tidak menentukan munculnya gejala itu. Faktor utamanya: industrialisasi-modernisasi yang melahirkan kondisi sosial bagi terbentuknya prekariat.
Rentan terlibat
Menurut Standing (2011), prekariat adalah mereka yang kerja dan hidupnya secara umum tak aman, tak stabil, tak pasti sehingga psikologis pun cenderung diliputi marah, tanpa pegangan hidup yang kukuh, terasing dari hidup, rentan terlibat dalam organisasi atau aktivitas ekstremis.
Di Indonesia, ciri prekariat ditemukan pada berbagai jenis pekerjaan, informal maupun formal, yang mengalami informalisasi (pekerja paruh waktu, alih daya, dan sebagainya). Meski data yang pasti sulit diperoleh, tingginya persentase pekerja sektor informal (53,6 persen) dan pekerja tak penuh (31,20 persen) mengindikasikan besarnya jumlah prekariat. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia berusia muda, termasuk para pekerjanya, dapat diduga sebagian besar prekariat adalah anak-anak muda.
Anak muda prekariat itu produk industrialisasi-modernisasi, khususnya era Orde Baru. Mereka relatif berpendidikan, memiliki mobilitas dan jaringan sosial yang lumayan serta tuntutan hidup dan mimpi tentang masa depan yang lebih tinggi daripada para penganggur, pengemis.
Namun, jenis pekerjaan mereka, yang terpaksa diambil karena terbatasnya lapangan kerja, tak memberi jaminan memadai memenuhi berbagai tuntutan hidup, apalagi mewujudkan mimpi itu. Bahkan, mereka bisa sesewaktu kehilangan pekerjaan atau memperoleh pendapatan yang tak sesuai dengan yang diharapkan. Negara pun tak hadir untuk memberi jaminan terhadap mereka. Kondisi ini memunculkan berbagai dampak psikologis pada anak muda prekariat, khususnya rasa cemas karena ketidakpastian hidup saat ini dan masa depan.
Dengan kondisi sosiologis dan psikologis seperti itu, agama radikal lalu hadir sebagai jawaban. Ada beberapa alasan mengapa hal ini dimungkinkan. Secara teologis, dengan berpijak pada pemahaman yang hitam-putih atas teks kitab suci, ajaran radikal memberi senjata pengetahuan tentang mengapa mereka berada dalam posisi saat ini (tak menja- lankan agama yang "murni"), solusi yang harus dilakukan (tatanan yang sesuai dengan ajaran agama yang "murni"), berbagai sikap dan keterampilan hidup yang harus dimiliki mewujudkannya (komitmen yang tinggi atas ajaran agama yang "murni", perang suci, dan sebagainya). Bahkan, saat ajaran itu tak membawa sukses menurut paham awam, hal itu dianggap "kegagalan suci", suatu komitmen tinggi dengan imbalan hidup yang lebih baik di alam sana. Pemahaman hitam-putih seperti itu penting dan amat menarik bagi anak-anak muda prekariat yang butuh kepastian.
Secara sosiologis, aktor yang terlibat dalam radikalisme agama adalah mereka yang paling hadir dalam hidup sehari-hari anak muda prekariat melalui berbagai aktivitas keagamaan, bantuan sosial, jaringan bisnis kecil-kecilan, diskursus populis, bahasa yang mudah dipahami. Kaum agamawan moderat sendiri lebih sibuk dengan politik elite, bersikap elitis; politisi hanya muncul saat pemilu; aparat negara masih bergulat dengan problem integritas, kompetensi, dan selalu repot dengan urusan prosedur.
Radikalisme agama hanya dapat diatasi dengan menata kembali industrialisasi modernisasi yang jadi lahan subur bagi tumbuhnya anak muda prekariat. Tanpa penataan seperti itu, radikalisme agama tetap jadi ancaman Indonesia kini dan nanti karena sebagian besar penduduk Indonesia berusia muda.
ANDI RAHMAN ALAMSYAH, PENGAJAR DI DEPARTEMEN SOSIOLOGI FISIP UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Anak Muda dan Radikalisme".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar