Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 21 November 2015

Pasti Ketahuan Boroknya (ADI ANDOJO SOETJIPTO)

Kalimat lengkap judul di atas adalah, "Kalau sudah kekenyangan, pasti ketahuan boroknya". Begitulah kiasan yang pas menggambarkan perilaku para elite politik hari-hari ini.

Kekenyangan yang dimaksud dalam tulisan ini tidak ada hubungannya dengan perut. Hal itu lebih untuk menggambarkan suatu kondisi saat orang sudah melakukan tindak kejahatan berkali-kali sampai tak terbatas.

Seorang pencuri, misalnya, yang sudah kekenyangan mencuri, suatu ketika pasti akan ketangkap polisi. Begitu juga dengan seorang koruptor, kalau dia sudah kebanyakan makan uang negara, pastilah dia akan ditangkap KPK. Orang yang berselingkuh, kalau sudah kekenyangan pasti akan ketahuan juga.

Seperti ungkapan bahasa Belanda:"Earste keer doet zeer, Twede keer, nog meer, Derde keer", Nah lu ketahuan! (Pertama kali, nikmat, kedua kali, mau tambah lagi, ketiga kali... nah lu kamu ketahuan).

Juga apabila yang berbuat tidak terpuji itu seorang politisi berkuasa. Apabila dia sudah kekenyangan melakukan perbuatan serupa. Berkali-kali yang tidak terpuji hingga istilahnya "kekenyangan", pastilah perbuatannya akan terbongkar dan diketahui masyarakat banyak.

Ibarat pepatah, "sepandai- pandai bajing melompat, suatu ketika akan jatuh juga". Menurut pendapat saya, politisi berkuasa itu sudah kekenyangan berbuat tidak terpuji. Celakanya perbuatan tidak terpuji itu dilakukan oleh pejabat yang seharusnya menjunjung tinggi harkat dan martabat negara.

Oleh karena itu, menurut pendapat saya tidak perlu diselidiki lagi karena saya khawatir penyelidikannya seperti waktu- waktu yang lalu, akan menguap kemasukan angin sehingga hilang tidak berbekas. Ini malah akan menjadi preseden buruk bagi semua orang.

Langsung copot

Waktu saya menjadi pimpinan di Mahkamah Agung, saya pernah mengusulkan kepada ketua Mahkamah Agung agar apabila ada hakim yang diisukan telah berbuat tidak terpuji, langsung dicopot tanpa diselidiki terlebih dahulu kebenarannya.

Waktu itu ketua Mahkamah Agung menjawab dengan bahasa Belanda , "Dan ben jiy als pimpinan niet waard." Artinya "Kalau begitu kamu tidak becus menjadi pimpinan."

Saya sampai pensiun tidak pernah menjabat pimpinan Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang memecat hakim. Seandainya saja saya mencapai jabatan itu pastilah akan saya laksanakan gagasan tersebut.

Bayangkan ada hakim diisukan memalsukan status untuk dapat kawin lagi. Dan, bayangkan lagi ada hakim diisukan terima suap.Kalau isu itu sampai menyebar, menurut saya bukanlah sekadar fitnah. Sebab untuk jabatan prestisius seperti hakim, orang tidak akan berani mengarang isu tanpa dasar.

Sekarang fenomena ada politisi berkuasa yang melakukan tindakan tidak terpuji, gagasan saya tersebut di atas berlakumutatis mutandissebab menurut pengalaman saya yang lalu kalau suatu isu harus dibuktikan tanpa ada kelanjutan, saya khawatir hal itu akan berdampak luas bagi kredibilitas suatu bangsa.

Masyarakat tidak percaya lagi kepada pemerintah, kepada penyelenggara negara dan kepada wakil-wakilnya. Belum lagi apabila diharuskan isu itu diperiksa terlebih dahulu, maka kecenderungan orang zaman sekarang pasti membantah dengan segala alasan. Dia lalu berargumentasi dengan mengarang cerita yang membodohi masyarakat, dengan mengatakan pertemuan itu bukan dalam kapasitasnya sebagai anggota lembaganya, atau pertemuan itu hanya obrolan biasa.

Untuk memeriksa kebenaran argumentasi itu pasti akan memakan waktu yang bisa berakibat dinyatakan dakwaan tidak terbukti. Tidak ada maling yang mau mengakui perbuatannya. Sedangkan rakyat merasa gemas.

Tim independen

Di sini saya mengusulkan kalau toh mau diperiksa, jangan oleh lembaganya sendiri yang pasti memiliki jiwa korps yang sama dan akan membelanya. Pemeriksaan lebih baik oleh tim pemeriksa independen. Misalnya, dibentuk khusus oleh presiden berdasar pengalaman waktu saya mau membongkar isu kolusi di Mahkamah Agung tahun 1996. Pemeriksaan oleh Mahkamah Agung jelas memihak dan sama sekali tidak menghasilkan putusan independen.

Tulisan ini untuk mengingatkan jangan ada masalah besar yang lewat tanpa penyelesaian yang baik dan tuntas, hanya mengambang saja. Gaduh pada permulaan, tetapi kemudian menguap begitu saja, akibatnya rakyat jadi apatis.

ADI ANDOJO SOETJIPTO, MANTAN KETUA MUDA MAHKAMAH AGUNG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Pasti Ketahuan Boroknya".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger