Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 November 2015

Tajuk Rencana: Manuver untuk Merevisi (Kompas)

Motif Komisi III DPR memperlambat seleksi calon pimpinan KPK terbaca. Seleksi calon pimpinan KPK telah dibarter dengan revisi UU KPK.

Harian ini, Sabtu 28 November, memberitakan pemerintah dan Badan Legislasi DPR sepakat mengebut pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada saat yang sama, ada optimisme uji kelayakan calon pimpinan KPK segera dilakukan Komisi III DPR. Kesepakatan itu dicapai Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang juga politisi PDI Perjuangan. Pemerintah menyetujui usulan pengambilalihan inisiatif penyusunan RUU Perubahan UU KPK menjadi inisiatif DPR.

Upaya memperlambat seleksi calon pimpinan KPK dilakukan Komisi III DPR dengan memanggil Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK lebih dari tiga kali dan mempersoalkan hasil kerja mereka. Komisi III belum memutuskan apakah mengembalikan delapan nama atau melakukan seleksi? Padahal, masa jabatan pimpinan KPK akan berakhir 16 Desember 2015.

Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan membantah ada barter antara seleksi calon pimpinan KPK dan revisi UU KPK. Namun, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Miko Ginting menilai kesepakatan pemerintah dan DPR merevisi UU KPK dibarter dengan seleksi calon pimpinan KPK (Kompas, 28 November).

Merevisi undang-undang memang bukan hal mustahil. Namun, yang perlu dicermati adalah poin apa saja yang akan direvisi. Menentukan masa hidup KPK 12 tahun, menempatkan KPK berfokus pada pencegahan, mengontrol kewenangan penyadapan seperti yang pernah diusulkan sejumlah anggota DPR, sama saja dengan mematikan KPK. Presiden Joko Widodo beberapa kali mengatakan, revisi UU KPK belum menjadi prioritas karena pemerintah masih dihadapkan pada masalah ekonomi. Namun, sikap Presiden Jokowi tampaknya sudah berubah. Presiden secara implisit setuju revisi UU KPK secara terbatas.

Jika dokumen Nawacita dijadikan rujukan, posisi politik Presiden Jokowi sebenarnya jelas. "Kami mendukung keberadaan KPK, yang dalam praktik pemberantasan korupsi telah menjadi tumpuan harapan masyarakat."

Di tengah segala kelemahan yang ada, KPK anak kandung reformasi telah menjadi tumpuan harapan masyarakat. Tidak mungkin ada Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap tanpa ada KPK. Tidak mungkin ada ketua umum partai ditangkap tanpa ada penyadapan KPK.

Agresivitas KPK memberantas korupsi memang akhirnya menjerat sejumlah politisi DPR. Jadi, jika ada niat DPR melemahkan KPK dan memilih sosok pimpinan KPK yang relatif moderat, tentunya akan berhadapan dengan rakyat yang diwakilinya. Jika upaya DPR itu bisa diwujudkan, gerakan pemberantasan korupsi yang progresif hanya akan tinggal dalam sejarah. Dalam posisi seperti itu, posisi Presiden Jokowi kembali sangat menentukan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Manuver untuk Merevisi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger