Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 06 Desember 2015

Sejarah Publik dan Media Sosial (RESTU GUNAWAN)

Pada November lalu, di Den Haag, Belanda, kita dikejutkan oleh pelaksanaan "Pengadilan Rakyat" (International People's Tribunal) terkait peristiwa pasca 1965 oleh sebagian aktivis HAM Indonesia. Peristiwa itu, dari konteks sejarah, tentu menarik untuk dilakukan kajian.

Pertanyaan sederhana yang muncul adalah mengapa para aktivis mendorong untuk melakukan pengadilan kasus pasca 1965 dan bukan peristiwa sebelum dan selama peristiwa itu berlangsung, lalu mengapa mereka harus menggelar di negeri Belanda? Untuk menjawab semua itu tentu setiap pemerhati akan mempunyai jawaban yang beragam.

Dalam konteks ini, saya ingin menempatkan pada pendekatan sejarah. Seperti diketahui bahwa karya-karya sejarah dari tahun 1965 sampai 2000-an sangat minim pelibatan masyarakat. Seolah-olah penafsir tunggal sejarah adalah sejarawan profesional dan pemerintah. Padahal, hakikat dari sejarah adalah masyarakat. Artinya, masyarakatlah pendukung sejarah untuk terus berkembang. Jika masyarakat hanya sebagai obyek, maka di situlah sebenarnya sejarah akan berjarak dengan pemiliknya.

Kita bukan hendak menyalahkan siapa pun. Tetapi, seperti kita ketahui bersama, sejarah sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa boleh dikatakan baru dimulai di Indonesia sejak 1957. Titik itu adalah ketika dilaksanakan Seminar Sejarah Nasional I pada 14-18 Desember 1957 di Yogyakarta, yang menampilkan sejumlah sejarawan, politikus, dan budayawan di Indonesia.

Sebagian besar pembicara adalah tokoh-tokoh yang bekerja pada instansi pemerintah, sehingga pandangannya adalah bagaimana memperkuat keindonesiaan menurut versi pemerintah. Hal ini tentu tak salah karena memang pada masa itu komunitas sejarah berbasis masyarakat belum tumbuh. Menurut rencana sebagai momentum kebangkitan sejarah Indonesia, tanggal 14 Desember akan dijadikan sebagai Hari Sejarah Indonesia.

Hal yang patut dicatat dari hasil seminar tersebut adalah dicapai kesepakatan tentang sebuah paradigma baru dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Indonesia sentris, sebagai antitesis terhadap Nederlando sentris. Hal ini punya pengaruh sangat besar terhadap perkembangan sejarah di Indonesia.

Dalam buku-buku sejarah, yang terjadi adalah pembalikan sejarah, dengan cara memberi label baru kepada tokoh-tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Tokoh-tokoh yang pada masa kolonial Belanda dianggap sebagai pemberontak, setelah Indonesia merdeka dianggap pahlawan.

Misalnya, Diponegoro, Hasanuddin, Cut Nyak Dhien, dan tokoh-tokoh yang dulu dianggap sebagai pemberontak diangkat sebagai pahlawan nasional. Begitu juga Van den Bosh, peletak dasar culture stelsel, yang oleh Belanda dianggap sebagai pemimpin yang berhasil, oleh Pemerintah Indonesia dicap sebagai tokoh yang membuat sengsara masyarakat Indonesia.

Kebijakan semacam ini memang perlu mengingat Indonesia yang baru merdeka tentu membutuhkan penguatan rasa nasionalisme seluruh elemen masyarakat. Namun, rupanya euforia pemerintah untuk menafsirkan sejarah terus dilakukan sehingga upaya membangun sejarah berbasis masyarakat (komunitas) dilupakan. Jadi, tidak salah jika para pemerhati mengatakan bahwa penafsir tunggal sejarah saat ini adalah pemerintah.

Memasyarakatkan

sejarah publik

Tidak ada definisi tunggal tentang sejarah publik. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa sejarah publik adalah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menuliskan sejarahnya sendiri, baik itu oleh sejarawan profesional, amatir, maupun masyarakat. Dengan demikian, daulat sejarah ada di masyarakat itu sendiri karena pemilik sejarah adalah masyarakat.

Sejarah publik sudah lama berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ia sudah muncul pada tahun 1880-an, meski baru pada tahun 1970-an sejarah publik yang dipelopori Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat.

Di Indonesia, tahun 1970-an sudah dimulai upaya untuk menuliskan sejarah publik melalui proyek sejarah lisan (oral history) yang dirintis oleh Nugroho Notosusanto dengan melibatkan sejarawan muda waktu itu. Namun, proyek itu terhenti sebatas pada wawancara dengan tokoh-tokoh besar, dan tidak dipublikasikan secara luas baik dalam bentuk digital maupun tercetak.

Jika saja proyek sejarah lisan tersebut dilanjutkan dengan melakukan wawancara pada tokoh- tokoh yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa besar, seperti Peristiwa Madiun 1948, PRRI/Permesta, Peristiwa 1965, Peristiwa Malari, Peristiwa 1998, dan lain sebagainya tentu akan memberi pemahaman yang utuh. Sebab, pengungkapan sejarah dilakukan dengan membahas topik sebelum dan sesudah peristiwa terjadi menurut versi masyarakat, sehingga akan terinventarisir sumber-sumber sejarah yang kaya tentang berbagai peristiwa yang ada di Indonesia. Ini mengingat sebagian sumber sejarah ada di masyarakat, dan masyarakat diberi saluran untuk menyampaikan pendapat.

Saluran ini sangat penting karena masyarakat merasa dihargai. Dengan demikian, tidak ada yang merasa kalah dan menang. Lebih dari itu, diharapkan masyarakat tak mencari saluran- saluran di luar kontrol pemerintah. Pada akhirnya, "peristiwa" menuliskan sejarahnya masing-masing ini akan menjadi peristiwa budaya yang terus-menerus bergulir, di mana perbedaan cara pandang masyarakat terhadap suatu peristiwa sejarah akan menjadi sesuatu yang lumrah.

Kini kita patut mengapresiasi kemauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membentuk Direktorat Sejarah, yang secara khusus akan menangani aspek-aspek kesejarahan. Tetapi, di luar itu, kita juga berharap besar terhadap direktorat ini untuk dapat menggerakkan komunitas-komunitas yang ada, sehingga sejarah tidak lagi milik pemerintah, tetapi juga milik masyarakat.

Selain itu, keberanian melakukan terobosan dengan menggerakkan media sosial sebagai sarana untuk publikasi sejarah juga diperlukan. Media sosial kini sudah jadi kebutuhan, dan ke depan akan terus berkembang, sehingga sudah seharusnya sejarawan terus mengembangkan disiplin baru dan pendekatan baru yang berkaitan dengan media sosial dan sejarah publik lainnya.

RESTU GUNAWAN, SEKRETARIS UMUM MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA (MSI); SAAT INI BEKERJA DI DITJEN KEBUDAYAAN, KEMENDIKBUD

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Sejarah Publik dan Media Sosial".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger