Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 23 Desember 2015

Tajuk Rencana: Natal dan Keadaban Publik (Kompas)

Hari raya keagamaan, seperti Natal, memungkinkan mencari dan menemukan aktualitas eksistensial kita sehingga punya dampak pada kehidupan nyata.

Kita tangkap Pesan Natal Bersama Tahun 2015 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) berlaku universal. Judul "Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah" tidak hanya pesan bagi umat Kristiani, tetapi juga ditawarkan bagi warga masyarakat Indonesia yang majemuk.

Peristiwa Natal mengingatkan kita untuk hidup sebagai "keluarga Allah". Kita satu keluarga. Sebagai anggota keluarga, kita bertanggung jawab menjadikan hidup bersama di bumi ini semakin baik; tidak hanya keselamatan manusia, tetapi juga keutuhan seluruh ciptaan. Kita kembangkan Indonesia sebagai "rumah bersama".

Mengembangkan relasi dengan semangat "rumah bersama" terus diupayakan di tengah sejumlah peristiwa yang mengancam keutuhan rumah tersebut. Misalnya penutupan dan perusakan rumah ibadah—di beberapa negara lain bahkan pembunuhan akibat perilaku kekerasan sekelompok orang atas nama agama; musibah asap, berkembangnya nafsu serakah yang melahirkan kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme, kerusakan lingkungan, dan mahalnya nilai kejujuran di tengah kehidupan politik yang jauh dari keberpihakan pada kebenaran dan hati nurani.

Artikel Joko Widodo berjudul "Revolusi Mental" (Kompas,10 Mei 2014), sebelum menjadi Presiden, menaruh di atas cawan persoalan mendasar bangsa ini. Kerusakan mental bangsa sudah dalam tahap mencemaskan. Jika kondisi ini dibiarkan, negara bisa menuju kehancuran.

Menyaksikan apa yang terjadi belakangan ini, utamanya menyangkut keserakahan, ketidakadilan, dan tiadanya keberpihakan pada fatsun politik pejabat publik, benarlah prediksi sejarawan Arnold Toynbee. Bahwa dari 21 peradaban dunia, 19 hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan pembusukan moral dari dalam.

Dalam konteks kasus "papa minta saham" dan revisi UU KPK, benarlah bahwa keserakahan adalah satu sisi aspek kekuasaan (Lord Acton), tetapi sisi lain memberikan ke- sempatan berbuat kasih. Dampak dua kasus itu menjalar ke mana-mana yang, jika tidak disikapi tegas, akan mempersempit ruang gerak pemberantasan korupsi.

Menerjemahkan revolusi mental yang dientakkan Joko Widodo dua tahun lalu adalah tugas kita bersama. Tugas itu semakin berat. Namun, dalam kondisi rusaknya keadaban publik, pesan puisiCinta (Jalaludin Rumi) memperoleh momentum aktual dan relevan di hari raya Natal 2015. Kita rawat dan perbaiki relasi yang rusak oleh nafsu asli kekuasaan, dilandasi semangat Natal sebagai wujud kerahiman Allah, sumber sukacita, ketenangan, dan kedamaian (Paus Fransiskus).

Selamat Natal 2015!

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Natal dan Keadaban Publik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger