Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 19 Januari 2016

TAJUK RENCANA: Mempertanyakan Pembinaan (Kompas)

Kian radikal dan banyaknya terpidana terorisme beraksi setelah bebas dari penjara paling tidak menunjukkan gagalnya fungsi pemasyarakatan.

Situasi seperti ini harus dicarikan jalan keluar. Fungsi pemasyarakatan merupakan upaya memasyarakatkan kembali orang yang berbuat kejahatan untuk kembali menjadi orang baik. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution mengemukakan, banyak pelaku teror adalah orang yang pernah dihukum. Bahkan, lembaga pemasyarakatan menjadi tempat untuk semakin meradikalisasi orang yang sudah berpaham radikal.

Realitas empiris mengonfirmasi kecenderungan itu. Afif alias Sunakim, Santoso, dan Bahrum Naim adalah terpidana terorisme yang begitu keluar dari penjara malah kian radikal. Santoso ditangkap tahun 2006 karena merampok dan, setelah menjalani masa hukuman tiga tahun, kini malah memimpin Mujahidin Indonesia Timur.

Menempatkan terpidana kasus terorisme dalam satu lembaga pemasyarakatan tanpa pembenahan manajemen lembaga pemasyarakatan patut juga dipertanyakan kemanfaatannya. Apakah mereka malah tidak kian memperkuat ideologi kekerasan yang mereka anut dan menyebarkannya? Percuma saja terpidana terorisme dihukum, tetapi mereka tetap bisa menyiarkan ajaran-ajarannya melalui perangkat komunikasi.

Situasi ini urgen. Menurut catatan BNPT, kini ada 215 narapidana terorisme yang tersebar di 47 lembaga pemasyarakatan. Tahun 2015 terdapat 56 narapidana yang bebas atau selesai menjalani hukuman. Dari jumlah itu terdapat 25 orang yang punya pola pikir keras dan radikal.

Program deradikalisasi tak mungkin hanya menjadi beban lembaga pemasyarakatan, badan nasional penanggulangan terorisme, atau kepolisian. Perlu pelibatan sejumlah organisasi massa, pemimpin informal, untuk mencarikan jalan keluar bagaimana melakukan program deradikalisasi.

Terorisme merupakan ancaman nyata bagi Republik, apalagi jika aksi terorisme di Indonesia terkait dengan gerakan terorisme internasional. Kita kutip pandangan Muhammad AS Hikam dalam buku Deradikalisasi (2016), pendekatan kekuatan keras untuk penegakan hukum baik dan mendapat sambutan, tetapi tetap dibutuhkan pendekatan lunak. Sebagai tindakan kekerasan, terorisme juga berdimensi ideologi yang dikembangkan melalui pemahaman ajaran-ajaran agama. Karena itulah program deradikalisasi harus bersifat komprehensif, integral, dan berkesinambungan dengan melibatkan semua kekayaan khazanah sosial bangsa dan melibatkan semua pemangku kepentingan untuk merumuskannya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Mempertanyakan Pembinaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger