Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 Februari 2016

Hak Partisipasi BUMDdi Pengelolaan Blok Migas (ANDANG BACHTIAR)

Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, menyatakan: "Sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari suatu wilayah kerja, kontraktor wajib menawarkan participating interest 10 persen kepada Badan Usaha Milik Daerah".

Kehadiran PP ini menjadi angin segar bagi perjuangan daerah  di mana wilayah kerja itu berada untuk turut serta dalam kegiatan usaha hulu migas, bukan lagi hanya jadi penonton. Namun, pada kenyataannya, terbitnya peraturan itu tak serta-merta dapat diimplementasikan oleh daerah. Selain keterbatasan SDM dan sumber keuangannya, terkesan ada upaya membatasi ruang gerak daerah berperan dalam pengelolaan blok migas, terkait privilese hak partisipasi (participating interest/PI) 10 persen, seperti tertuang dalam aturan itu.

 Dalam perjalanannya, justru muncul pernyataan dari beberapa pihak yang  menyudutkan daerah karena daerah dianggap tak mampu dan justru menguntungkan pihak lain yang digandeng daerah bersangkutan dalam pengelolaan PI dimaksud. Menyikapi ini, Asosiasi Daerah Penghasil Migas (ADPM) memandang perlu menjelaskan beberapa hal, bahwa UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No 35/2004 adalah produk peraturan perundangan pasca reformasi yang memberikan kesempatan daerah melalui BUMD terlibat dalam kegiatan usaha hulu migas.

Penawaran PI 10 persen kepada BUMD, seperti tertuang dalam PP 35/2004, telah menunjukkan semangat untuk memberikan kesempatan kepada BUMD terlibat dalam pengelolaan blok migas. Kepemilikan interest blok migas oleh BUMD tak hanya memberikan manfaat secara ekonomi dengan berinvestasi, tetapi juga memberikan kesempatan kepada daerah memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan blok migas. Tak kalah penting, kepemilikan interest blok migas memberikan peluang lebih besar bagi daerah dalam memanfaatkan migas untuk memenuhi kebutuhan energi di daerahnya sebagai bagian dari ketahanan energi, serta mendorong terjadinya transparansi dalam lifting dancost recovery.

Dukungan pemerintah

PI di Blok Cepu sebagai implementasi dari PP 35/2004 telah menjadi rujukan BUMD lain dalam mendapatkan PI. Sebagai proyek percontohan PI, Blok Cepu juga menjadi rujukan pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan PI. Sayangnya, yang menjadi titik berat dan sorotan pemerintah dan juga pihak-pihak lainnya dalam "kasus" PI Blok Cepu adalah justru soal kecilnya porsi BUMD dibandingkan dengan mitranya yang notabene adalah pihak swasta. Persepsi inilah yang kemudian terbentuk menjadi opini publik bahwa BUMD sudah dibodohi swasta.

Upaya BUMD memenuhi kewajiban dalam mendapatkan dan mengelola PI di Blok Cepu seharusnya diapresiasi mengingat kemampuan BUMD yang terbatas. Pemerintah pusat mestinya sudah paham mengenai hal ini. Saat itu tak ada satu pun bank bersedia memberikan pinjaman karena BUMD tak punya aset untuk dijadikan jaminan selain keengganan pihak bank membiayai sektor hulu migas yang dinilai berisiko tinggi. Dengan segala keterbatasan dan upaya yang ada serta semangat daerah untuk dapat turut serta menjadi bagian dari blok itu, dilakukanlah beauty contestatau penawaran door to door terhadap calon mitra. Perlu dicatat, saat dilakukanbeauty contest, tak ada satu pun BUMN bergerak menawarkan diri menjadi mitra BUMD, hingga kemudian BUMD mendapatkan mitra yang terbaiknya.

Oleh sebab itu, jika apa yang diperoleh BUMD pada Blok Cepu masih dianggap kurang baik, maka upaya yang bisa dilakukan adalah dengan cara pemerintah mendorong BUMN atau konsultan nasional menawarkan bantuan jasa konsultasi/pendampingan kepada BUMD agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemilik interestblok migas, terutama dalam hal pendanaan. Termasuk dengan menyediakan jasa pendampingan dalam bernegosiasi dengan calon mitra BUMD, baik BUMN maupun swasta. Bukan dengan terus-menerus menyudutkan daerah/BUMD.

Selain itu, pemerintah juga bisa mendorong BUMN menjadi salah satu alternatif calon mitra BUMD atau sebagai peserta beauty contest sehingga bisa dipastikan BUMD dapat mitra dan hasil terbaik. Persepsi yang berkembang sekarang seolah-olah pemerintah melarang BUMD bekerja sama dengan swasta atau mewajibkan BUMD bekerja sama dengan BUMN. Jika ini terus dibiarkan, dikhawatirkan berdampak tak baik bagi gerak langkah BUMD maupun dunia usaha, khususnya di sektor migas.

Berbeda dengan kasus PI Blok Cepu yang merupakan rencana pengembangan (plan of development/PoD) pertama, perlakuan terhadap blok-blok yang habis masa kontraknya seharusnya juga dibedakan. Hal ini karena untuk blok yang habis masa kontraknya, secara risiko tentu sudah berkurang signifikan, khususnya risiko geologi karena pada saat PoD disetujui telah dilakukan eksplorasi sebelumnya.

Sayangnya, PP 35/2004 tak mengatur  porsi PI terhadap blok migas yang telah habis masa kontraknya, seperti kasus Blok Mahakam, yang tentu saja memiliki risiko pengelolaan jauh lebih kecil dibandingkan risiko ketika PoD pertama kali disetujui. Hal ini disebabkan blok itu sudah berproduksi dan infrastruktur sudah terbangun sehingga risiko geologi maupun risiko investasi secara keseluruhan jauh lebih kecil. Sudah sepatutnya BUMD bukan hanya mendapat kesempatan untuk memilikiinterest di blok migas yang habis kontraknya, tetapi juga porsi kepesertaan lebih besar dari yang tertuang dalam PP 35/2004. Penting dibuat aturan pemberlakuan PI kepada blok-blok migas yang habis masa kontraknya.

Ketahanan energi nasional akan kuat jika didukung ketahanan energi daerah yang kuat. Dalam mengembangkan BUMN migas, kita punya kewajiban mengembangkan BUMD migas.

ANDANG BACHTIAR

 Sekretaris Jenderal ADPM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Hak Partisipasi BUMDdi Pengelolaan Blok Migas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger