Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 Februari 2016

TAJUK RENCANA: Literasi dalam Era Elektronik (Kompas)

Era serba digital, visual, dan serba praktis—era elektronik—kalau tidak diantisipasi bisa menurunkan tingkat literasi (kemampuan baca) masyarakat.

Sejumlah negara yang dikenal memiliki budaya baca tinggi sudah lebih cepat mengantisipasinya. Mengapa negara-negara dengan penduduk rakus baca buku (cetak) tidak mengalami penurunan dalam tingkat literasi? Sebab, budaya baca sudah menyatu sebagai habitus. Sebagai contoh, Jepang, industri buku cetak di sana tidak mengalami penurunan signifikan. Orang tetap asyik membaca lewat bacaan cetak ataupun elektronik.

Sebaliknya kita, Indonesia. Budaya baca tidak dihidupi masyarakat yang lebih terbiasa dengan budaya nonton dan budaya omong (bicara). Kebiasaan (habitus) yang baik—membaca—perlu dipaksakan agar diterima, menyatu sebagai kultur. Kebiasaan membaca perlu ditambahkan, kalau perlu dipaksakan, di antaranya lewat pendidikan dalam arti seluas-luasnya.

Reportase harian ini tentang turunnya minat baca siswa dalam praksis pendidikan—tentu ada kekecualian—menunjukkan sinkronisasi dampak negatif serba elektronik dengan keinginan serba praktis. Budaya instan secara umum tak mendukung tingkat literasi. Karena itu, membaca sebagai keterampilan dan kebiasaan perlu dilatihkan dan dibiasakan, berbeda dengan nonton dan bicara.

Semakin menurunnya industri buku cetak sudah menjadi kecenderungan dunia. Pameran buku internasional tiap Oktober di Frankfurt, Jerman, menengarai merosotnya industri buku cetak (print-book),tergantikan industri buku elektronik(e-book). Anehnya, dalam Frankfurt Bookfair tahun lalu, kelesuan industri buku cetak tampak menggeliat kembali beriringan dengan e-book.

Indonesia, kita, saat ini masih mengalami kemerosotan buku cetak—serupa juga di media cetak. Kita yakin, cetak tetap akan hidup—melawan ramalan Thomas Meyer tentang bakal matinya industri cetak—tetapi fase kemerosotan literasi perlu diantisipasi persuasif, khususnya lewat praksis pendidikan di sekolah.

Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Program Budi Pekerti perlu kepastian untuk dijalankan. Kita dukung peraturan itu karena merupakan upaya pengembangan siswa, bagian dari pengembangan karakter. Mengalokasikan waktu 15 menit tiap pagi untuk membaca buku sebelum pelajaran yang pertama dimulai—di luar buku mata pelajaran—merupakan langkah pembiasaan meningkatkan tingkat literasi. Tentu saja, bacaan disesuaikan dengan jenjang kelas, dan lingkungan setempat.

Selain itu, perlu dilakukan kerja sama sinergik antara e-book dan print-bookuntuk peningkatan literasi masyarakat.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Literasi dalam Era Elektronik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger