Rumah kami di Buaran, Serpong, Tangerang Selatan, bersebelahan dengan areal proyek Perumahan Serpong Jaya. Di sana kini sedang berlangsung pembangunan perumahan baru oleh pengembang PT Primainti Lestari.
Awalnya, lokasi rumah kami relatif tinggi. Namun, pengembang perumahan baru itu telah menguruk lahannya hingga melebihi tinggi tembok pagar kami. Akibatnya, lokasi rumah kami menjadi paling rendah dibandingkan bidang-bidang lahan lain di sekitarnya.
Pada Desember 2015 kami sudah mengirimkan surat kepada pengembang, dengan tembusan ke Kelurahan Buaran dan Wali Kota Tangerang Selatan. Kami meminta perhatian dan pengkajian, karena dapat dipastikan rumah kami akan digenangi air jika musim hujan tiba. Apalagi pengembang juga menguruk saluran air yang tadinya ada, tanpa memfasilitasi penggantinya.
Pada musim hujan kali ini—sejak Jumat (26/2)—halaman rumah kami digenangi air setinggi 40 sentimeter dan Sabtu (5/3), ketinggian air meningkat menjadi 150 cm. Bisa diperkirakan, sebentar lagi air akan masuk ke dalam rumah. Padahal, sebelumnya, selama empat tahun tinggal di rumah itu, kami tidak pernah kebanjiran.
Setelah lima hari kebanjiran, pihak pengembang mengirim koordinator lapangan. Hal sama juga dilakukan pada hari ketujuh. Namun, tetap tidak ada solusi tepat jangka pendek untuk mengurangi genangan air, apalagi solusi jangka panjang agar banjir tidak berulang. Katanya, hal ini berada di luar wewenang pengembang.
Mohon bantuan pihak berwenang agar ada jalan keluar bagi kami dari kondisi yang memprihatinkan ini.
DEVI BASUKI, KAMPUNG JATI RT 003 RW 005, BUARAN, TANGSEL
Pemeringkatan SNMPTN
Adik saya kelas XII IPA di SMAN 3 Semarang yang sedang persiapan ujian nasional. Ternyata ia tidak memperoleh tiket ikut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Di atas kertas, tidak mungkin kalau adik saya tidak termasuk 75 persen terbaik di sekolah. Hal ini diduga karena ada kesalahan rekap nilai untuk pemeringkatan.
SMA tersebut menggunakan sistem satuan kredit semester (SKS) yang paket mata pelajarannya dibagi dalam kelompok menu 1 dan 2. Maka, tiap kelas tidak selalu sama untuk semua semester. Contohnya, adik saya yang masuk kelompok menu 1, pada semester 3 tidak mendapat mata pelajaran Kimia, seperti menu 2. Siswa kelas menu 1 sudah dapat di semester 1.
Celakanya, nilai persyaratan SNMPTN adalah nilai semester 3, 4, dan 5 khususnya pelajaran yang di-UN-kan. Menurut adik saya, hampir semua temannya di menu 2 lolos ke SNMPTN. Mereka lolos karena ada pelajaran Kimia di semester 3 dan ada nilainya. Siswa menu 1 banyak yang gigit jari, termasuk juara olimpiade juga tidak lolos.
Kemungkinannya, sistem pemeringkatan merekap jumlah nilai semester 3-5 kemudian dibagi SKS atau jumlah pelajaran. Kalau angka pembaginya sama, siswa kelompok menu 1 rata-ratanya akan lebih sedikit kecuali yang dapat "menutup" ketiadaan nilai Kimia tersebut. Artinya, siswa kelompok menu 1 dirugikan.
Saya mohon, jangan sampai karena sistem anak-anak jadi korban. Mereka ingin mendapatkan haknya. Apakah keputusan panitia tentang siapa yang berhak dan tidak berhak ikut seleksi SNMPTN masih bisa direvisi?
Karena kuota hanya 75 persen dan sulit membatalkan sebagian mereka yang sudah lolos, mohon solusi panitia pusat SNMPTN.
BAGUS, BANYUMANIK, SEMARANG
Telepon Mati
Kami menghubungi Telkom 147 berulang kali, dengan nomor laporan IN2564036, karena telepon di rumah tidak dapat untuk menelepon dan ditelepon.
Menghubungi nomor telepon rumah kami akan terdengar nada sambung biasa, seperti tidak bermasalah. Kenyataannya pesawat telepon tidak berdering.
Suatu ketika telepon rumah kami berdering karena petugas Telkom menghubungi, memastikan telepon sudah diperbaiki. Namun, itu hanya berlangsung 10 menit dan setelah itu masalah yang dikeluhkan berulang.
Kami mengharapkan kunjungan teknisi Telkom ke rumah, tidak hanya memeriksa dari gardu terdekat untuk menuntaskan keluhan kami.
Kami tidak akan berhenti menyampaikan keluhan untuk mendapatkan hak kami, karena kami juga telah melaksanakan kewajiban sebagai konsumen dengan membayar tagihan tiap bulan.
WIDI NUGROHO, TUGU, CIMANGGIS, DEPOK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar