Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 14 Maret 2016

Pelembagaan Ekonomi Politik (MAKMUR KELIAT)

Apakah proses pelembagaan ekonomi politik (baca: demokrasi dengan insentif bisnis-pasar yang semakin menguat) akan terus berlangsung di tahun-tahun mendatang? Tantangan-tantangan apakah yang tengah dihadapi pada tahun-tahun mendatang? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini layak diajukan karena dua alasan sederhana berikut.

Pertama, Indonesia belum memiliki prestasi yang mengagumkan dalam pelembagaan proses politik. Trajektori (gambaran grafis) historis tentang bagaimana kekuasaan negara telah dikelola adalah bukti yang sukar dibantah. Setiap rezim telah mengklaim bahwa "demokrasi" telah diterapkan dengan karakteristik dan keunikannya sendiri. Kita mengenal istilah "demokrasi liberal" dan "parlementer" (1950-1959), "demokrasi terpimpin" (1960-1966), "demokrasi Pancasila" (1966-1998), sampai dengan "demokrasi reformasi" sejak 1998.

Kedua, terdapat laporan akhir-akhir ini yang menyebutkan "kemunduran" prestasi Indonesia dalam mengelola kekuasaan melalui pelembagaan politik demokratik.  Penilaian dari Freedom House, misalnya, menyatakan bahwa sejak 2014 (tahun terakhir masa kepemimpinan SBY) hingga 2015, Indonesia dikategorikan sebagai "sebagian terkungkung"  (partly free). Disebut dengan "kemunduran"  karena pada tahun-tahun sebelumnya (2006-2013), Indonesia memperoleh penilaian tidak terkungkung atau bebas (free). Tampaknya, penurunan ini disebabkan capaian Indonesia dalam freedom ratingdan kebebasan sipil (civil liberties) dinilai telah memburuk dalam dua tahun terakhir itu, terutama terkait dengan   menguatnya intoleransi agama dan sosial. Sementara itu, capaian dalam hak-hak politik (political rights) dinilai stabil. 

Warisan

Setiap pemerintah baru tidak pernah memulai dari ruang kosong. Warisan dari pemerintahan sebelumnya telah memberikan beberapa tantangan bagi pemerintahan Jokowi. Tantangan pertama, bagaimana menyeimbangkan hubungan antara negara dan masyarakat. Dalam periode 1999-2014, berbagai kerangka regulasi baru di Indonesia (baik secara substansi maupun jumlah) menunjukkan adanya kecenderungan pemihakan terhadap penguatan masyarakat. Hal ini tampak dari keluarnya UU Polri tahun 2002, UU TNI tahun 2004, UU Transparansi Informasi Publik tahun 2008, UU Intelijen tahun 2011, dan UU Pilkada Serentak tahun 2015. Seluruh kerangka regulasi ini menunjukkan adanya penggunaan otoritas negara yang terbatas dalam melaksanakan fungsi keamanan.

Ini tidak berarti bahwa tidak terdapat inisiatif untuk mewujudkan kerangka regulasi penguatan negara. Beberapa inisiatif itu muncul dalam bentuk  UU Antiterorisme tahun 2003, UU Organisasi Masyarakat tahun 2014, dan tentu saja UU KPK tahun 2002 yang memberikan otoritas "diskresi" penyadapan. Kecuali untuk KPK, terdapat dukungan kecil dari publik untuk secara terus-menerus memperkuat otoritas negara. RUU Keamanan Nasional, yang bertujuan untuk memperkuat koordinasi antar-aktor keamanan, sebagai misal, hingga kini belum berhasil menjadi UU walau gagasannya telah muncul sejak lebih dari satu dasawarsa lalu. Contoh lainnya, RUU Rahasia Negara yang pada tahun 2012 dihentikan karena ketidakberanian pemerintah menghadapi oposisi publik yang meluas.

Tampaknya, warisan politik rezim Orde Baru masih meninggalkan "luka"  dan "kegetiran" sehingga sebagian besar publik melihat negara sebagai institusi mengerikan. Karena kecenderungan seperti ini pula, proses politik untuk melakukan amandemen terhadap UU Antiterorisme tidak akan berjalan dengan mudah. Namun, pertanyaannya adalah jika otoritas negara tetap terbatas, siapakah yang akan berkehendak mengisi ruang hampa dan sekaligus memiliki kemampuan dalam mengambil alih tanggung jawab itu? Haruskah membiarkan masyarakat yang sangat majemuk dengan kepentingan beragam untuk mengisi ruang kosong tersebut? Atau pilihan lainnya, relakah kita membiarkan mekanisme pasar untuk mengambil alih  tanggung jawab itu?       

Tantangan kedua, menyeimbangkan tanggung jawab kesejahteraan ekonomi dari negara versus semangat pertumbuhan yang ditawarkan oleh energi pasar. Keseimbangan ini perlu dijaga karena pengalaman historis menunjukkan perubahan politik dipicu instabilitas ekonomi. Pada tahun 1959, misalnya, pergeseran rezim "demokrasi parlementer" menjadi "demokrasi terpimpin" sedikit banyak disebabkan stagnasi pertumbuhan ekonomi. Pergeseran dari "demokrasi terpimpin" menjadi "demokrasi Pancasila" pada 1966 juga disebabkan kemelut ekonomi. Kemudian, pergeseran Orde Baru menjadi Reformasi pada 1998 pun disebabkan krisis ekonomi.

Pada saat yang sama, pemerintahan Jokowi telah mewarisi suatu rezim yang sangat unik. Di satu sisi terlihat jelas bahwa otoritas negara dalam pengendalian terhadap pasar semakin berkurang. Warisan itu, misalnya, tampak dari hilangnya kontrol dalam menentukan harga-harga kebutuhan pokok, penetapan tingkat suku bunga berdasarkan dinamika pasar, arus modal yang bebas, serta kehadiran bank sentral yang independen. Di sisi lain, terdapat juga warisan "fiskal" yang tidak sehat. Hal ini tampak dari alokasi subsidi bahan bakar yang terlalu besar disertai dengan perhatian yang sangat minim terhadap pembangunan infrastruktur.

Komitmen pemerintah sangat khas  dalam menanggapi risiko ekonomi politik yang diwariskan pemerintahan sebelumnya. Di satu sisi, pemerintah melanjutkan penguatan pasar dan kemudahan berbisnis. Hal ini tampak dari penerbitan paket-paket kebijakan pertama hingga kesepuluh. Pemerintah juga telah melakukan konsolidasi fiskal luar biasa dengan menghapus alokasi dana subsidi BBM dan merelokasikannya untuk pembangunan infrastruktur dan penguatan sistem jaminan sosial di bidang kesehatan dan pendidikan. Dengan terobosan ini, pemerintahan Jokowi telah berhasil menepis kritikan-terutama yang dimunculkan oleh kelompok elite politik pengejar rente yang "menderita" dengan dihapuskannya subsidi BBM-bahwa kebijakan ekonomi pemerintah sangat pro-pasar.

Tantangan pembaruan pajak

Meski demikian, harus pula dicatat bahwa konsolidasi fiskal hanya bisa  berlanjut jika pemerintah berhasil mengelola tantangan ketiga: mobilisasi pendanaan.  Dalam hal ini,  pembaruan pajak merupakan instrumen kebijakan kunci. Patut mencatat bahwa Indonesia memiliki rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang rendah dibandingkan negara-negara G-20 ataupun negara-negara berkembang lainnya. Berdasarkan temuan Dana Moneter Internasional (IMF) misalnya (IMF, "Indonesia Selected Issues", Oktober 2011), rasio pajak terhadap PDB Indonesia pada periode tahun 2002-2010 adalah 11,5-13,3 persen.

IMF memperhitungkan bahwa kapasitas penerimaan pajak maksimum Indonesia adalah 21,5 persen. Dari penerimaan pajak maksimum tersebut, penerimaan pajak Indonesia yang dianggap realistis untuk dioptimalisasikan adalah pada tingkat 13,4-16,4 persen. Dengan rasio pajak Indonesia yang sebesar 11,6 persen di tahun 2009, masih terdapat potensi peningkatan penerimaan pajak sebesar 2-5 persen yang bisa digenjot. Karena itulah, keputusan pemerintah pada tahun 2015 untuk menetapkan rasio pajak sebesar 12,5 persen dalam target penerimaan pajak APBN Perubahan 2015 bukanlah tidak masuk akal. Dengan asumsi potensi yang serupa, jika rasio peningkatan penerimaan pajak Indonesia ke angka 15 persen dapat tercapai, akan terdapat pengaruh yang signifikan untuk mendanai program-program pembangunan infrastruktur dan pembangunan sosial.

Secara teknokratis, tantangan Indonesia dalam penerimaan pajak ini terbagi dua, yaitu pada tataran kebijakan atau policy gap dan pada tataran penarikan pajak atau compliance gap. Permasalahan dalam policy gap di Indonesia ditunjukkan oleh beberapa indikator. Dari total rasio pajak terhadap PDB yang sebesar 11,6 persen pada tahun 2011, kontribusi pajak perusahaan Indonesia adalah 4,4 persen. Indonesia berada di bawah rata-rata Asia Pasifik, yang ada pada tingkat 5,5 persen. Dilihat dari efisiensi pajaknya, Indonesia dengan 17,6 persen masih berada di bawah rata-rata regional Asia Pasifik, yakni 20 persen. Rasio penerimaan pajak maksimum Indonesia yang sebesar 25 persen juga lebih rendah dibandingkan rata-rata regional, yakni 27,6 persen. Dari perhitungan yang dilakukan, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan kontribusi pajak perusahaan dari 4,4 persen menjadi 5 persen dari persentase rasio pajak terhadap PDB. Sementara untuk menyelesaikan permasalahancompliance gap, agenda yang penting adalah memperbaiki sistem administrasi perpajakan. 

Reformasi pajak juga menjadi sangat mendesak dan krusial karena kondisi ekonomi eksternal yang tidak menyenangkan dan diperkirakan tidak akan membaik dalam jangka waktu singkat. Menurunnya laju pertumbuhan global dipicu menurunnya harga komoditas global, meningkatnya tingkat bunga di negara-negara maju, kecenderungan negara-negara maju dalam mempraktikkan kembali proteksionisme terselubung, dan tentu saja juga karena penurunan laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok.

Namun, keseluruhan tantangan teknokratis ini dihadapkan pada tantangan realitas politik di parlemen. Mengingat DPR merupakan area utama dalam perubahan regulasi,  the realpolitical battle-field untuk melanjutkan pembaruan pajak tidak bisa dilepaskan dari permainan  kekuasaan  partai politik. Jika semangat teknokratis eksekutif  dikalahkan semangat pertarungan kekuasaan partai politik di DPR, kemungkinan besar upaya untuk memenuhi kebutuhan mobilisasi pendanaan akan bekerja di wilayah nonfiskal (APBN). Ini berarti secara ekonomi politik sumber-sumber untuk mobilisasi pendanaan akan lebih disandarkan pada mekanisme pasar. Jika ini yang terjadi, kekuatan politik di DPR juga harus bertanggung jawab untuk menjelaskannnya kepada publik mengapa pergeseran ini terjadi.

MAKMUR KELIAT

Pengajar di Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia; Senior Analyst pada Kenta Institute

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Pelembagaan Ekonomi Politik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger