Ajakan itu disampaikan dalam khotbah pada hari Kamis Putih dan diulangi serta ditegaskan lagi pada hari raya Paskah, kemarin. Kita katakan tepat waktu karena memang kebencian, permusuhan, konflik, dan penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan ada di mana-mana. Dari waktu ke waktu, permusuhan, konflik, dan pelanggaran hak asasi manusia bukannya semakin surut, melainkan justru semakin nyata.
Kita bisa melihat yang terjadi di Timur Tengah, bagian dunia yang nyaris tidak pernah merasakan indahnya kedamaian dan perdamaian. Konflik di Suriah belum juga memperlihatkan titik terang penyelesaian meski usaha pencarian perdamaian terus dilakukan. Suriah, yang lima tahun terjerumus dalam peperangan, seperti tidak memperlihatkan akan menyisakan masa depan, kecuali terpecah. Lebih dari 250.000 warga tewas, dan ratusan ribu lainnya terluka, jutaan terpaksa meninggalkan kampung halaman, mengungsi, bahkan hingga ke Eropa.
Konflik antara Israel dan Palestina nyaris terlupakan meskipun masih jauh dari akhir. Negara di Timur Tengah lainnya, seperti Yaman dan Libya, masih pula dikuasai peperangan. Serangan bom dan bom bunuh diri terjadi di Irak, Turki, Mesir, dan Tunisia. Nigeria dan Sudan, untuk menyebut negara di Afrika, juga dicabik-cabik oleh kelompok radikal, ekstremis yang menghalalkan segala cara demi kepentingannya, termasuk menindas kemanusiaan.
Eropa pun tak luput dari tindak kekejaman, kebencian, dan permusuhan. Bom yang meledak di Brussels, Belgia, menjadi salah satu contohnya. Amerika Serikat pun, lewat pernyataan kebencian yang dilontarkan kandidat presiden Donald Trump, terbawa arus ke lembah permusuhan. Di negeri kita, jujur harus diakui, masih diwarnai sikap dan pandangan tidak bersaudara antarsesama anak bangsa.
Itulah sebabnya, Paus mengajak dunia untuk mencintai kembali persaudaraan dan keakraban sejati sebagai sesama manusia. Berani mencintai dan bersikap lembut kepada sesama di sekeliling kita akan membuktikan cinta kasih itu lebih kuat, lebih memberikan hidup, dan lebih memberikan harapan ketimbang kebencian dan kejahatan. Keragaman umat manusia semestinya bisa saling selaras; dan globalisasi yang membuat dunia ini tunggang langgang semestinya bisa menyatukan sejumlah masyarakat berbeda tanpa menjadikan mereka semua seragam.
Di atas semua itu, agama adalah teladan, etika, dan kesaksian. Itulah yang ditunjukkan Paus Fransiskus pada hari Kamis Putih. Semoga hal itu mengingatkan dan menyadarkan pemimpin agama di mana pun dan pemimpin dunia tentang arti penting persaudaraan sejati, untuk membangun dunia yang damai dan tenteram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar