Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita melihat bagaimana kebijakan moneter bekerja dan apa peran suku bunga kebijakan di dalamnya.
Kebijakan moneter
Kebijakan moneter kerap bekerja bagai misteri. Frederic Mishkin dalam bukunya,The Economics of Money (1995), mengatakan, mekanisme kebijakan moneter bekerja secara kompleks sehingga dalam teori moneter sering disebut "kotak hitam". Hal itu karena ada proses yang sulit dijelaskan: mulai dari saat keputusan bank sentral menaikkan atau menurunkan suku bunga kebijakannya hingga dampaknya ke aktivitas perekonomian.
Contohnya adalah ketika Ketua Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) Janet Yellen berencana menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Fund Rate) pada pertengahan 2015. Pasar keuangan langsung bereaksi, tercermin dari bergejolaknya harga saham di Wall Street dan penguatan mata uang dollar AS secara global.
Perkembangan itu lalu diikuti turunnya harga saham dan pelemahan nilai tukar di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Merespons hal tersebut, Bank Indonesia (BI) pada saat itu menahan tingkat BI Rate, yang berdampak positif kepada relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan peningkatan kembali harga saham.
Contoh di atas menunjukkan bahwa kebijakan moneter memiliki pengaruh besar dalam aktivitas perekonomian. Kebijakan moneter memengaruhi perputaran uang dalam ekonomi, yang terlihat dari perkembangan jumlah uang beredar, suku bunga, kredit, nilai tukar, serta berbagai variabel ekonomi lainnya. Bank sentral juga mampu memengaruhi ekspektasi masyarakat dalam menentukan pilihan aktivitas ekonominya.
Sejak 2005, BI menerapkan kerangka kebijakan moneter yang menargetkan tingkat inflasi sebagai tujuan (inflation targeting framework). Kerangka ini bekerja melalui sebuah mekanisme transmisi, yang dimulai dari saat BI menggunakan berbagai instrumen moneter yang dimiliki (antara lain suku bungaBI Rate, giro wajib minimum, intervensi rupiah atau valuta asing), dan diarahkan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu sasaran inflasi (kestabilan harga).
Tingkat BI Rate yang ditentukan BI tersebut kemudian memberi pengaruh kepada aktivitas ekonomi melalui berbagai saluran, seperti kredit, suku bunga, nilai tukar, harga saham, dan ekspektasi masyarakat. Di sektor riil, tingkat BI Rate turut memengaruhi keputusan konsumsi, investasi, ekspor dan impor, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter.
Bank sentral perlu memahami proses panjang transmisi kebijakan moneter ini dengan baik. Pemahaman pertama adalah memilih saluran transmisi dan instrumen mana yang paling berpengaruh dalam ekonomi. Kedua, bank sentral perlu mengetahui seberapa kuat dan lamanya tenggat (lag) saluran tersebut bekerja.
BI Rate bekerja efektif sejak 2005 hingga sekitar pertengahan 2010. Hal itu terlihat dari relatif stabilnya inflasi selama kurun tersebut. Ketika BI menaikkan atau menurunkan BI Rate, dampaknya ke suku bunga pasar uang dan perbankan segera dirasakan. Namun, sejak 2010, seiring dengan dinamika perekonomian, terjadilah perubahan fundamental yang mengakibatkan transmisi kebijakan moneter tadi menjadi berkurang efektivitasnya.
Seiring dengan derasnya arus modal asing, BI Rate kemudian seolah "terlepas" dari struktur suku bunga jangka pendek yang berlaku di pasar keuangan. BI Rate bergerak menjadi setara dengan suku bunga 12 bulan di pasar uang. Akibatnya, ketika BI menggerakkan BI Rate, dampaknya ke suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan menjadi relatif rigid atau tidak bergerak secara signifikan karena suku bunga 12 bulan sedikit diperdagangkan.
Sebagai contoh, mari kita lihat pada beberapa bulan belakangan ini. Saat BI menurunkan BI Rate hingga 0,75 persen atau 75 basis points, suku bunga perbankan hanya bergerak turun dalam kisaran 0,06 hingga 0,08 persen, atau berkisar 6 hingga 8 bps.
Dalam kondisi itu, bank sentral perlu meninjau kembali kerangka operasi kebijakannya. BI memiliki sejumlah kriteria dalam menentukan suku bunga kebijakan, seperti sifatnya yang transaksional (diperdagangkan pasar dengan bank sentral), pasarnya relatif dalam, dan hubungan yang kuat pada sasaran operasional, yaitu suku bunga pasar uang antarbank satu malam atauovernight (PUAB O/N). Dari berbagai pertimbangan tersebut, BI mengganti suku bunga kebijakan BI Rate, yang saat ini sebesar 6,75 persen, dengan BI 7-day Repo Rate, yang saat ini sebesar 5,5 persen.
Hal yang lumrah
Dalam praktik internasional, penyesuaian suku bunga kebijakan ini lumrah dilakukan oleh berbagai bank sentral untuk memperbaiki mekanisme transmisi. Bank Sentral Thailand, misalnya, pada 2007 juga mengubah suku bunga kebijakannya dari 14-day repo rate menjadi 1-day repo rate. Sementara itu, Bank Sentral Korea pada 2008 mengubah suku bunga kebijakan mereka dari overnight policy ratemenjadi base rate (7-day policy rate). Perubahan suku bunga kebijakan ini juga dilakukan oleh Bank Sentral New Zealand (2006) dan Bank Sentral Filipina (2015).
Mengganti suku bunga kebijakan tidak berarti mengubah sikap kebijakan moneter BI. Kita perlu membedakan antara instrumen untuk menentukan sikap kebijakan dengan sikap kebijakan itu sendiri. Penggantian suku bunga kebijakan ini tidak berarti BI melakukan pelonggaran kebijakan moneter, tetapi dilakukan untuk memperkuat kerangka operasi moneter.
Lewat kebijakan ini diharapkan saat BI mengetatkan atau melonggarkan kebijakan moneter, dampaknya dapat segera dirasakan pada suku bunga pasar uang dan perbankan, seperti deposito dan kredit. Ibaratnya, yang dilakukan BI saat ini adalah seperti pabrikan mobil yang memperbaiki mekanisme transmisi kopling agar mobil yang diproduksi nanti dapat berjalan dengan lebih baik.
JUNANTO HERDIAWAN
Deputi Direktur, Departemen Komunikasi Bank Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Memahami Suku Bunga Kebijakan Bank Sentral".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar